Bagi masyarakat Jawa, malam 1 Sura itu dimaknai sebagai media merefleksikan diri. Mereka melakukannya lewat wiridan dan dzikir saat malam tahun baru, atau setidaknya menjaga diri untuk tetap melek terjaga hingga melewati pergantian malam atau bahkan fajar. Dalam tradisi Jawa, ini disebut tirakatan yang artinya menyendiri atau menjauh dari keramaian. Tradisi ini diyakini sebagai keberlanjutan kebiasaan raja-raja Mataram Islam yang suka menepi di gua hingga pantai untuk mencari ketentraman batin dan keselamatan.
Karena peringatan malam 1 Suro dalam budaya Jawa dimaknai sebagai malam sakral, maka masyarakat sering pula mengisinya dengan serangkaian upacara syarat makna seperti Jamasan Pusaka, Wayangan, Ruwatan, Larung Sesaji, hingga Tapa Brata. Dalam hal ini, Keraton Yogyakarta dan Surakarta sebagai keturunan Dinasti Mataram Islam juga memiliki upacara khas untuk menyambut malam 1 Muharram atau 1 Suro atau kini lebih akrab disebut malam tahun baru Islam. Keraton Surakarta biasanya menggelar upacara Kirab Pusaka untuk merayakan tahun baru Islam. Kirab tersebut merupakan bentuk rasa syukur, tafakur (merenung), dan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah). Menurut Dian Uswatina dalam Akulturasi Budaya Jawa dan Islam (2016), sejak awal berdirinya Keraton Surakarta hingga awal pemerintahan Sunan Pakubuwono XII (1945-2004), kirab hanya dilakukan mengelilingi bagian dalam keraton. Akan tetapi, sejak tahun 1973, kirab pusaka dilakukan mengelilingi luar tembok keraton dan mengikutsertakan “kebo bule” Kyai Slamet yang juga dianggap pusaka keraton. Kerbau berbulu putih kecoklatan tersebut merupakan hewan klangenan atau kesayangan Sunan Pakubuwana II (1726-1742). Leluhur kerbau ini konon merupakan hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari, Ponorogo. Oleh karena itu, kebo bule secara turun temurun menjadi cucuk lampah (pengawal) pusaka keraton dalam upacara Kirab Pusaka. Sementara di Keraton Yogyakarta pergantian tahun baru Islam diwarnai dengan upacara Tapa Bisu Mubeng Benteng. Dinas Kebudayaan Yogyakarta dalam Ensiklopedi Keraton Yogyakarta (2009) menjelaskan bahwa Tapa Bisu Mubeng Benteng merupakan upacara tirakatan mengelilingi benteng keraton dengan membisu. Upacara ini dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi benteng keraton sebanyak tujuh kali dan tidak diperbolehkan berbicara atau bersuara. Meski pembukaan upacara dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwana atau wakil sultan tetapi pelaksana upacara ini adalah para abdi dalem. Mereka akan berjalan mengelilingi benteng tanpa alas kaki dan berbekal tasbih karena upacara ini bermakna pengingat kepada alam dan Sang Pencipta. Hersapandi dkk dalam Suran: Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni (2005) menjelaskan bahwa konsep mubeng beteng kemungkinan besar terpengaruh oleh konsep pradaksina dan prasawya dalam ritual Hindu/Budha. Pradaksina adalah ritual berjalan kaki sesuai arah jarum jam, sedangkan prasawya adalah ritual berjalan berkebalikan arah jarum jam. Keduanya memiliki makna yang baik, yakni sebagai simbol permohonan kebutuhan lahir dan batin. Oleh karena itu, upacara mubeng benteng mengajarkan kepada kita bahwa tahun baru seharusnya menjadi media refleksi diri. Orang Jawa menempuhnya dengan sikap eling lan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sementara waspada berarti manusia juga harus waspada dan terjaga dari godaan yang menyesatkan. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |