Pada awal abad XVII atau tahun 1600-an, tatkala perdana orang Belanda datang ke Nusantara, catatan laporan mereka pun turut menyebut soal produksi gula di beberapa daerah di Pulau Jawa. Cornelis de Houtman tentang pelayaran pertamanya ke Jawa menyebut adanya produksi gula di Banten, Jayakarta, Karawang, dan Jepara.
Produksi Gula Era VOC Menguatnya kolonialiasme pihak Belanda turut rupanya membawa gula jadi produk yang makin penting. Budi dayanya pun jadi kian mengarah ke model industri agrikultur skala besar. Satu di antara penandanya ialah pada 1637 ketika otoritas VOC Belanda di Batavia memberi izin kepada seorang Tionghoa untuk memproduksi gula di Batavia dan Banten selama 10 tahun. Pengusaha gula Tionghoa tersebut lantas disebut mampu menghasilkan mencapai 3.000 pikul per tahunnya, yang mana per pikulnya dihargai duit f18. Demikian cerita yang dikutip dari Suikerkultuur: Jogja yang Hilang, suatu dokumentasi pameran hasil kerjasama pada 2019 antara Bentara Budaya Yogyakarta dan Komunitas Roemah Tua. Dalam tempo sekitar sepuluh tahun, tempat penggilingan tebu di sekitar Batavia telah berkembang menjadi 23. Namun, pungutan pajak tinggi pada 1650 menciutkan jumlah penggilingan tebu ke angka 10 saja. Produksi gula di Jawa, termasuk di Batavia selaku daerah penghasil utama komoditas tersebut, mencapai booming pada 1690-1730. Terjadi perambahan Ommelanden atau daerah di luar benteng kota Batavia menjadi banyak lahan untuk pertanian berikut pengolahan hasilnya. Lahan pertanian tebu dan penggilingannya termasuk di antaranya. Berdasar isi Nusa Jawa: Silang Budaya 2, Jaringan Asia karya Denys Lombard, yang merujuk aneka laporan oleh Jan Hooyman dan Andries Teisseire menjelang akhir abad XVIII, pada 1710 pernah ada sampai dengan 131 penggilingan tebu di sekitar Batavia, yakni 82 beroperasi di timur Sungai Ciliwung dan 49 sisanya di sisi baratnya. Banyak dari 84 pengusahanya adalah orang-orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa yang tersohor sebagai pengusaha penggilingan tebu kala itu antara lain Kwe Bok Kwa dan Nie Hoe Kong. Pada tahun-tahun sesudahnya sepanjang sisa abad XVIII, jumlah penggilingan tebu di Batavia turun-naik, tapi secara umum tetap di bawah angka 1710. Karena efek Geger Pecinan 1740 yang disusul pemberontakan orang-orang Tionghoa di banyak tempat di Jawa sampai sekitar separo dekade kemudian, jumlah penggilingan tebu yang beroperasi 1740 di Batavia dan sekitarnya turun drastis tersisa 52 buah saja. Setelah naik lagi menjadi 65 buah pada 1750, maka pada 1750 mampu mencapai angka 70-80 penggilingan. Pada pertengahan abad XVIII itu, keseluruhan jumlah tempat produksi gula di Jawa ada 105 buah. Pasalnya selain oleh pabrik-pabrik di Batavia, gula diproduksi juga oleh tujuh pabrik di Banten, delapan di Cirebon, dan 13 pabrik di Provinsi Pantai Timur Jawa. Merujuk isi buku The Island of Java karya John Joseph Stockdale pada 1811, produksi gula tebu di Jawa pada sekitar medio abad XVIII telah terindikasi mengarah kepada bentuk gula pasir alias gula berbentuk kristal. Secara kualitas, dengan terutama merujuk tingkat warna putih dan teksturnya, gula produksi Jawa terbagi ke dalam empat tingkatan. Gula kualitas pertama adalah yang memiliki warna paling putih serta bertekstur paling kering di antara empat gula produksi Jawa kala itu. Gula kualitas pertama ini diekspor ke Eropa. Gula kualitas kedua kurang putih dibandingkan gula kualitas pertama. Gula ini diekspor ke India bagian Barat. Gula kualitas ketiga kalah putih dan paling kecoklatan jika dibandingkan dua jenis gula sebelumnya. Gula ini diekspor ke Jepang. Gula jenis keempat sekaligus yang berkualitas paling rendah disebut gula dispens. Warnanya sangat cokelat, teksturnya kurang kering, dan digunakan untuk keperluan di kapal-kapal armada VOC. bersambung bagaian 2
2 Comments
|
Archives
December 2024
Categories |