Satu contoh di antaranya adalah pahatan relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur, tepatnya pada panel urutan 39. Tergambarkan adegan: sepasang suami-istri kaya yang memanggil sekelompok pemusik jalanan untuk unjuk kebolehan di hadapan orang banyak.
Contoh lainnya adalah isi Prasasti Waharu I dari sekitar tahun 873 Masehi atau era Maharaja Kayuwangi. Dalam prasasti tersebut termuat kata mangidung dalam bahasa Jawa Kuna yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “bernyanyi” atau “menyanyi”. Berbagai karya sastra Jawa era kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha (abad ke-5 hingga 15 M) maupun masa kerajaaan-kerajaan Islam (abad ke-16 hingga kini) dibaca secara nyaring sekaligus dilagukan menurut tradisi aslinya. Pembacaan karya sastra dengan dilagukan, lazimnya dilakukan dengan melibat sejumlah orang lain, yaitu sebagai sesama pembaca secara bergiliran atau sekadar sebagai penyimak. Kita pada dasarnya dapat menemukan bentuk pembacaan tersebut dalam pembacaan kakawin, kidung, babad, serat, dan suluk. Dari antara rekam jejak sekitar 12 abad, tulisan ini akan mencuplik lima lagu maupun gending Jawa yang pernah mampu menyedot perhatian khalayak luas, baik itu lingkup nasional Indonesia, atau bahkan ke tataran internasional: 1. Anoman Obong Anoman Obong jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia berarti ‘Anoman Terbakar’. Ini merupakan lagu Jawa rancak ciptaan seniman asal Solo, Ranto Edi Gudel, yang juga merupakan ayah dari dua seniman legendaris lainnya, yakni pelawak Mamiek Prakoso dan penyanyi Didi Kempot. Lagu yang diciptakan pada 1996 ini diilhami dari cerita wayang kulit purwa dan wayang wong (orang). Tepatnya cerita “Anoman Duta” yang merupakan bagian dari epos Ramayana asal India, dan diserap oleh budaya Jawa dari era Kemaharajaan Medang atau Mataram Kuna. Dalam kisah tersebut, tokoh Anoman (kera putih, panglima pasukan koalisi Prabu Sugriwa dan ksatria Rama) melawan kekejaman Rahwana alias Dasamuka, raja Negeri Alengka. Ia tertangkap dan kemudian dibakar. Pada saat pembakaran ini, keajaiban datang karena api tak sanggup membakar badan Anoman. Ksatria kera ini justru bisa keluar dari kobaran api dan berjalan jalan ke banyak bangunan hingga Negeri Alengka hangus terbakar. Cuplikan lirik Anoman Obong adalah sebagai berikut: Ceritané wayang Jawi Ing praja Ngalengka Diraja Rahwana Raja arané Gawé geger nyolong Dewi Sinta Anoman cancut tumandhang Ngalengka wis dadi awu Kobong gedhé jeroning praja Pada tahun-tahun awal peredaran lagu ini, para penyanyi pembawa hits diantaranya adalah Mamiek Melani, Waldjinah, Nurhana, juga Didi Kempot. Kala itu, Anoman Obong dalam lingkungan masyarakat berbudaya Jawa disebut sebagai lagu penuh kritik terhadap praktik ketidakadilan pemerintahan Orde Baru. Kesan demikian dikuatkan dengan munculnya berbagai gerakan perlawanan politik, gelombang unjuk rasa, hingga kerusuhan sosial yang membuat sejumlah kota dan daerah terbakar pada 1998. 2. Dhandhanggula Serat Tripama Lagu Jawa ini berasal dari Serat Tripama, kitab sastra karya KGPAA Mangkunegara IV, penguasa Kadipaten Mangkunegaran pada (1853-1881). Serat Tripama ini berisikan total tujuh bait. Masing-masing bait tersebut dinyanyikan mengikuti kaidah tembang Dhandhanggula, satu di antara kelompok tembang Jawa Macapat. Tripama berarti tiga contoh atau tiga teladan, yaitu ajaran nilai-nilai luhur dari tiga rokoh pewayangan Ramayana serta Mahabharata, yakni Patih Suwanda, Raden Kumbakarna, dan Adipati Karna. Karakter Patih Suwanda menggambarkan sifat setia kepada pemerintah dan rela berkorban untuk negara. Karakter Raden Kumbakarna menggambarkan sifat pembela kehormatan dan cinta tanah air. Karakter Adipati Karna menggambarkan sifat sadar diri untuk membalas budi. Teladan tiga tokoh tadi digunakan Pangeran Adipati Mangkunegara IV untuk ditiru dalam hal sikap ksatria atau keprajuritan. Dalam bahasa moderen tiga tokoh tadi bisa disebut sebagai teladan dalam hal profesionalisme profesi. Bertahun tahun setelah diciptakan oleh Pangeran Adipati Mangkunegara IV, Tripama terbukti masih sering dinyanyikan dalam berbagai acara dalam masyarakat Jawa. Cuplikan lirik bagian awal dari Dhandhanggula Serat Tripama sebagai berikut: Yogyanira kang pra prajurit Lamun bisa samya anuladha Kadya nguni caritané Andelira Sang Prabu Sasrabahu ing Maespati Aran Patih Suwanda 3. Gendhing Puspawarna Pangeran Adipati Mangkunegara IV juga mencipta berbagai gendhing Jawa. Satu di antaranya adalah Gendhing Puspawarna. Gendhing ini biasanya dibunyikan sebagai pertanda datangnya pangeran maupun iringan tari. Liriknya memuat beragam jenis bunga yang melambangkan beragam suasana, rasa, dan nuansa. Audiens Gendhing Puspawarna bahkan tembus literal di level antarplanet atau malah antar tata surya. Kekhasan dari gendhing ini telah memikat hati astronom Prof Robert E. Brown, sehingga diikutsertakan sebagai salah satu musik yang dipancarkan ke luar angkasa melalui misi antariksa Voyager. NASA meluncurkan misi Voyager pada 1977. Kini, atau hampir setengah abad setelah peluncurannya, dua wahana antariksanya telah mencapai tepian tata surya kita. 4. Caping Gunung Lagu Caping Gunung diciptakan pada 1973. Lagu ini mengisahkan seorang ibu yang merindukan putranya yang sedang berjuang dalam Perang Kemerdekaan. Sang ibu membayangkan anaknya yang dulu dirawat, kini telah jauh dari jangkauannya, kabar tentang kemenangan yang diperoleh putranya membawanya pada harapan, tetapi sang ibu masih dihantui pertanyaan terkait janji masa lalu yang mungkin dilupakan sang anak yang telah sukses. Cuplikan liriknya adalah sebagai berikut: Dek jaman berjuang, njur kelingan anak lanang Biyen dak openi, saiki ono ngendi Jarene wis menang keturutan sing digadang Biyen ninggal janji, saiki opo lali Ning gunung dak cadongi sega jagung Yen mendung dak silihi caping gunung Sukur bisa nyawang gunung-desa dadi reja Pencipta lagu ini adalah Gesang Martohartono atau yang lebih dikenal dalam mononim Gesang. Ia pria asli Solo kelahiran 1 Oktober 1917 dan meninggal dunia pada 20 Mei 2010. Ia telah beroleh pengakuan luas tingkat nasional maupun internasional sebagai maestro lagu Jawa. Lagu karya Gesang yang paling tersohor adalah Bengawan Solo, diciptakan pada awal 1940-an. Kini sudah diterjemahkan dalam13 bahasa asing, antara lain bahasa Jepang, Mandarin, hingga Polandia. Lagu-lagu lain karya Gesang yang juga populer adalah Jembatan Merah serta Tirtonadi. (RESTU A RAHAYUNINGSIH & YOSEF KELIK/Tim RIset Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |