Lalu, bagaimana cara berpesta dari orang-orang di Jawa pada masa lalu atau beberapa abad silam?
Pada masa Jawa kuno, beberapa acara perayaan yang lazim disebut pesta antara lain: sima atau upacara penetapan daerah perdikan (desa yang dibebaskan dari pungutan pajak negara), sraddha atau peringatan 12 tahun meninggalnya seseorang, juga perayaan yang bersifat hiburan. Dalam upacara-upacara ini umumnya diselenggarakan pentas tari. Kemeriahannya mungkin tak kalah meriah dari pesta kembang api sekarang. Sima Upacara sima biasanya diselenggarakan sebagai bentuk upacara terima kasih seseorang atau rakyat karena anugerah raja berupa pembebasan daerah atau lahannya menjadi daerah atau lahan yang bebas pajak dengan alasan tertentu. Pada upacara tersebut terkadang raja atau bisa saja hanya pejabat yang mewakili hadir untuk membacakan putusan sima. Berdasarkan data prasasti, di akhir upacara tersebut umumnya diadakan sebuah pesta untuk bersuka ria. Hal semacam ini, salah satunya dapat dilihat di terjemahan baris 20 dan 21 Prasasti Rukam dari tahun 907 Masehi. Dalam prasasti tersebut diceritakan bahwa setelah seluruh hadirin seperti patih, wahuta, dan pejabat desa menyembah batu prasasti; mereka mengambil makanan dengan daun. Setelah itu, mereka akan menari/berjoget dan bersuka ria bersama karena Desa Rukam telah dikukuhkan menjadi daerah sima. Sebagaimana juga disebutkan oleh Prasasti Mantyasih III dari 907 Masehi, dalam perayaan sima umumnya hadir penari dan pemain musik. Mereka menerima upah dan mendapat hadiah. Hal ini menunjukkan kemeriahan pesta masa itu. Sraddha Menariknya, kemeriahan pesta masa Jawa kuno tidak hanya berlaku di momen bahagia, tetapi juga pada saat berduka seperti peringatan 12 hari meninggalnya seseorang. Perayaan demikian disebut sebagai sraddha. Pupuh 63-67 kitab Negarakertagama (1365 Masehi) menyebutkan kemeriahan dan kekhidmatan upacara sraddha pada 1362 Masehi bagi Sri Rajapatni atau Gayatri yang diselenggarakan oleh cucunya, Maharaja Hayam Wuruk. Upacara ini diawali dengan menghias singgasana yang nantinya digunakan untuk meletakan arca perwujudan Sri Rajapatni. Setelah itu, digelar segala pertunjukan yang menggembirakan hati rakyat seperti nyanyian, wayang, tari topeng, dan tari prajurit yang diselenggarakan silih berganti. Rangkaian upacara seperti ini masih berlangsung hingga era Sri Girindrawardhana yang pada 1486 memperingati 12 tahun meninggalnya Raja Singawikramawardhana. Selain kedua pesta di atas, Pupuh 26-27 Negarakertagama juga menyebutkan upacara perayaan bagi Sri Baginda (Raja Hayam Wuruk) yang dipimpin oleh Sang Adipati Sura dan diikuti oleh 70 penduduk desa. Upacara ini dimeriahkan dengan hiburan tari topeng. Dalam tarian tersebut, sang raja menari topeng dan masyarakat Majapahit diperbolehkan menonton. Pupuh 91 bahkan menyebutkan bahwa Sri Baginda Hayam Wuruk adalah seorang penari topeng yang ulung. [RESTU AMBAR RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu)]
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
April 2024
Categories |