Namun, jika menengok ke dalam catatan sejarah Jawa, apa yang kini populer disebut sebagai Belajar di Rumah sebenarnya bukan kali ini saja diterapkan, pun bukan sesuatu benar-benar baru . Itu sejatinya pernah menjadi sesuatu yang sangat diakrabi masyarakat Jawa untuk masa yang begitu panjang. Pasalnya, memang pernah ada abad-abad manakala mayoritas orang Jawa justru memeroleh ilmu keterampilan via Belajar di Rumah. Tepatnya belajar langsung aneka jenis ilmu dan keterampilan dari orangtua, kerabat dekat, serta tetangga. Praktik Belajar di Rumah ala Jawa di masa lalu ini yang pernah berlangsung berabad-abad. Dahulu itu, mereka yang menjalani Belajar di Rumah secara tradisional jauh lebih banyak ketimbang mereka yang menuntut ilmu di padepokan atau pesantren. Belajar di Rumah ala Jawa terbilang meredup dan tersisihkan barulah sekitar seabad terakhir, yakni sejak sistem sekolah moderen ala Barat menyebar dan menjadi arustama pendidikan anak, remaja, dan pemuda.
TOPONIM Bukti bahwa Belajar di Rumah pernah menjadi tulang punggung pewarisan aneka ilmu dan keterampilan di Jawa pada masa silam, sekian rentang tahun dan bahkan abad sebelum abad XX, disediakan oleh barisan toponim kampung dan ruas jalan di berbagai kota maupun kabupaten di Jawa Bagian Tengah maupun Timur. Penelisikan terutama dapat difokuskan kepada daerah-daerah yang masih atau setidaknya pernah ketempatan sebagai ibukota kerajaan maupun kemaharajaan Jawa berikut istana-istananya. Dalam daftar yang disusun tentulah termuat Surakarta alias Solo yang telah menjadi kota sejak 1745, kemudian Yogyakarta alias Jogja yang telah menjadi kota sejak 1756. Dua kota yang satu sama lain cuma berjarak sekitar 70 kilometer ini masih menjadi tapak bagi empat istana Jawa yang eksis sampai sekarang. Secara kultural juga semacam menjadi sepasang pusat peradaban Jawa hingga sekarang. Dapat juga turut dimasukkan daerah bekas ibukota Kemaharajaan di seputaran Solo maupun Jogja. Sebut saja dalam hal ini adalah Kartasura yang terletak sekitar 10 kilometer di barat Solo, lalu Kotagede yang terletak sekitar 5 kilometer sebelah tenggara dari pusat kota Jogja. Kartasura sendiri menjadi sebuah kota sejak 1680, sedangkan Kotagede menjadi sebuah kota sejak 1577. Dengan demikian 4 kota yang disebutkan tadi terbilang telah terurbanisasi sejak sekitar 250-450 tahun silam. Pada daerah-daerah yang tersebutkan tadi, sampai sekarang dapat ditemukan kampung maupun ruas jalan dengan penamaan merujuk ke bidang pekerjaan tertentu, baik yang pernah ataupun masih ditekuni warga setempat. Ambil contoh awal adalah Jagalan, nama kampung yang ada di Solo, Jogja, Kartasura serta Kotagede. Jagalan sendiri nama permukiman sekaligus tempat bekerja para jagal, yakni penyembelih hewan ternak dan tukang daging. Di Solo, Jogja, Kartasura, dan Kotagede masih ada beberapa contoh lain dari kampung yang bertalian dengan bidang pekerjaan tertentu. Mereka itu antara lain: Penumping di Solo dan Panumping di Jogja Nama dua kampung di atas sama-sama merujuk kepada permukiman para abdi dalem di bidang pertukangan yang memiliki keterampilan merancang dan mengerjakan bangunan-bangunan yang dibutuhkan raja maupun kesatuan prajurit kraton, mulai dari rumah, pesanggrahan, benteng, hinga aneka halangan bagi lawan dalam peperangan Pandheyan di Kotagede, Pandeyan di Kartasura, dan Pandean di Jogja Nama tiga kampung di atas yang saling mirip adalah merujuk kepada permukiman para pengrajin pembuat peralatan berbahan besi Gamblegan di Solo dan Gemblakan di Jogja Nama dua kampung di atas yang saling mirip adalah merujuk kepada permukiman para pengrajin pembuat peralatan berbahan perak Sayangan di Solo dan Sayangan di Kotagede Nama dua kampung yang serupa di atas sama-sama merujuk kepada permukiman para pengrajin pembuat peralatan berbahan tembaga Selain itu masih ada Laweyan di pinggiran selatan Solo yang terkenal sejak lama sebagai permukiman para pengrajin dan saudagar kain, termasuk batik. Di luar kota Jogja, di daerah yang sudah termasuk wilayah Kabupaten Bantul ada juga Desa Kasongan yang terkenal sejak lama sebagai permukiman para pengrajin gerabah. Di kota Jogja , masih ada lagi beberapa contoh kampung dan jalan dengan penamaan merujuk profesi pertukangan, antara lain Tukangan, Dagen, Bludiran dan Gerjen. Beberapa kampung dan jalan lainnya memakai dengan penamaan menurut kesatuan bregada prajurit kuno maupun abdi dalem Kasultanan Yogyakarta, antara lain Wirobrajan, Bugisan, Prawirotaman, Mantrijeron, Nyutran, Patehan, dan Gamelan. Kota-kota lain yang lebih kecil yang dulunya adalah kabupaten di bawah Surakarta maupun Yogyakarta memiliki kampung-kampung maupun jalan-jalan yang namanya merekam profesi penduduk daerah tersebut. TURUN-TEMURUN Pada zaman Jawa sebelum mengenal sistem sekolah modern, tulang punggung pewarisan aneka ilmu dan keterampilan sesungguhnya memang, tapi justru di komunitas, bukan terletak pada lembaga pendidikan tertentu seperti padepokan atau pesantren. Pewarisan ilmu dan keterampilan tepatnya berjalan di dalam keluarga maupun kampung atau desa yang dimukimi melalui kehidupan sehari-hari. Itu berlangsung turun temurun dari satu generasi ke generasi lain, juga membentuk siklus berulang. Generasi yang lebih tua seperti ayah-ibu, paman-bibi, kakek-nenek, atau kakak mengajari dan memberi contoh langsung mengenai bidang yang mereka tekuni , juga mengawasi penerapan apa yang mereka ajarkan. Generasi yang lebih muda, entah itu anak, keponakan, cucu, atau adik mengamati, mempraktikkan , belajar dari kesalahan, memodifikasi hal-hal yang diajarkan dan dicontohkan kepada mereka. Karena itu berlangsung di lingkungan tempat bermukim atau bahkan rumah sendiri, maka semuanya berlangsung secara sangat intensif jika hari dan jam yang dipergunakan coba dihitung. Pewarisan ilmu maupun keterampilan semacam ini berlaku dalam aneka bidang pekerjaan pertukangan, pertanian berikut pengolahan hasilnya, hingga ke pekerjaan di bidang keprajuritan. Keanekaragaman bidang pekerjaan berketerampilan tertentu dalam masyarakat Jawa setidaknya pada awal abad XIX terdokumentasikan beberapa di antaranya di dalam buku tulisan Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Volume One) halaman 163-165. Memang merupakan kelaziman pada zaman Jawa Kuna, bahkan masih sangat lazim sampai dengan 100-150 tahun silam, bahwa suatu keluarga atau malah suatu kampung menekuni suatu bidang tertentu secara turun temurun. Lebih lagi jika orang-orang itu melakukan pekerjaannya dengan memiliki hubungan dengan pihak pihak-pihak penguasa istana-istana Jawa, memenuhi aneka kebutuhan istana-istana tersebut. Daftar Pustaka: Haryono, Anton, Mewarisi Tradisi Menemukan Solusi: Industri Rakyat Daerah Yogyakarta Masa Kolonial (1830-an- 1930-an). Yogyakarta: Penerbit Universita Sanata Dharma, 2015 Raffles, Thomas Stamford, The History of Java (Volume One). Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978 Sumintarsih dkk, Toponim Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007 Surjomihardjo, Abdurrachman, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930. Depok: Komunitas Bambu, 2008 Suwito, Yuwono Sri dkk., Prajurit Kraton Yogyakarta: Filosofi dan Nilai yang Terkandung di Dalamnya. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2009
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
November 2024
Categories |