Suatu hari saat tengah menyadap di suatu pohon kelapa, Ki Ageng Giring mendengar suara gaib dari arah suatu buah kelapa. “Ketahuilah barang siapa yang dapat menghabiskan air kelapa muda (dawegan) ini sekaligus dalam sekali minum, seluruh keturunannya akan menjadi raja besar penguasa seluruh tanah Jawa”. Maka, buah itu pun dipetik oleh Ki Ageng Giring.
Sayangnya kelapa bertuah tadi ketika dibawa pulang ke rumah oleh Ki Ageng Giring justru diminum sampai tandas oleh saudaranya, yakni yaitu Ki Ageng Pamanahan. Ini terjadi karena Ki Ageng meninggalkannya beberapa saat, sedangkan di saat bersamaan Ki Ageng Pamanahan mampir dan begitu kehausan setelah menempuh perjalanan jauh. Namun, tulisan ini sebenarnya tidak akan akan mengulas lebih jauh tentang mitos tadi, tentang awal mula Ki Ageng Pamanahan menjadi leluhur yang menurunkan para raja penguasa istana-istana Jawa hingga saat ini. Tulisan ini justru hendak mengulas tentang bagaimana gula dan hidangan manis telah sejak lama dikenal jadi bagian hidup sehari-sehari orang Jawa. Ingat bahwa Ki Ageng Giring dikisahkan sebagai penyadap nira kelapa dan pembuat gula. Secara tradisional, gula lokal yang diproduksi orang Jawa berasal dari air kelapa dan aren atau siwalan. Keberadaan gula berbahan kelapa dan aren di Bumi Mataram terjaga eksistensinya hingga munculnya kekuasaan kolonial di Jawa. Sejak medio tahun-tahun 1800-an, Yogyakarta sebagai pecahan dari Kerajaan Mataram berkembang menjadi wilayah produsen gula modern yang dihasilkan dari tanaman tebu. Hermanu dalam Kereta Malam (2014) dan Suikerkultuur: Jogja yang Hilang (2019), menyebutkan bahwa Yogyakarta pada rentang 1860-an hingga 1930an memiliki 19 pabrik gula yang masif memproduksi gula sebagai komoditi ekspor. Industri “si rasa manis” bukan hanya berdampak pada aspek ekonomi tetapi juga bersinggungan dengan aspek sosial seperti makanan. Ketika berkunjung ke rumah orang Jawa khususnya di Yogyakarta, pastilah seseorang akan disuguhi oleh tuan rumah dengan minuman dan camilan sebagai tanda sambutan hangat. Minuman bercita rasa manis menjadi tanda kedekatan orang Yogyakarta dengan gula. Keberadaan makanan yang bercita rasa manis di Keraton Yogyakarta dapat dilacak dari Babad Ngayogyakarta. Sri Sultan Hamengkubuwana I menjamu tamunya dengan tradisi bersulang yang ditemani oleh camilan biskuit, dan roti, pada era HB I akulturasi budaya barat dan jawa telah terlihat. Perkembangan dari suguhan makanan manis berlanjut hingga awal abad XX. Kemunculan percampuran budaya makan lokal-barat yang disebut rijsttafel menghadirkan cara baru menghidangkan makanan termasuk makanan manis. Makanan manis hadir sebagai makanan penutup atau pencuci mulut (nagerechten) antara lain cookies/kukis (kue kering), poffertjes/pancake (panekuk), spekkoek/spiku (lapis legit), kwee poetri mandie (kue putri mandi), wadjiek /kwee-wajé (wajik). Kini, Museum Ullen Sentalu juga menyajikan jenis makanan ini sebagai hidangan pengunjung di akhir sesi tur Vorstenlanden. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang peran penting gula sebagai bahan pelengkap kuliner Indies sekaligus bahan yang dekat dengan penduduk Jawa sekaligus (ANUGRAH SATRIO, Mahasiswa Program Studi Sejarah, UGM. Magang Museum Ullen Sentalu 2022 ) Referensi: Carey, Peter. 2012. Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: KPG dan KITLV-Jakarta. Fadly Rahman. 2011. Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1900-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Haryoto Kunto. 1986. Semerbak bunga di Bandung Raya. Bandung: Ganesa. Hermanu. 2014. Kereta Malam. Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta. Hermanu. 2019. Suikerkultuur: Jogja yang Hilang. Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta. Olthof, W. 2008. Babad tanah Jawi: Mulai dari nabi Adam sampai tahun 1647. Yogyakarta: Narasi. Sartono Kartodirdjo et. al. 1993. Perkembangan Budaya Priyayi. Jakarta: Gadjah Mada University Press.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
November 2024
Categories |