Beberapa contoh dari keluarga besar bedhaya adalah Bedhaya Sumregdi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Bedhaya Ketawang di Kasunanan Surakarta, Bedhaya Semang di Kasultanan Yogyakarta, Bedhaya Anglir Mendung di Kadipaten Mangkunegaran, dan Bedhaya Tejanata Kadipaten Pakualaman. Contoh-contoh tadi pun cuma sebagian kecil dari keseluruhan tari yang termasuk bedhaya. Setiap istana Jawa memiliki dan mengembangkan tari-tari bedhaya mereka masing-masing. Kraton Yogyakarta saja paling tidak memiliki 31 macam bedhaya. Padahal, Surakarta, Mangkunegaran, serta Pakualaman memunyai bedhaya-bedhaya mereka sendiri yang tak kalah beragam dibanding Yogyakarta. Penamaan masing-masing bedhaya biasanya sesuai dengan nama gendhing iringannya. Namun, beberapa dari nama itu kadang diambil dari cerita yang diungkapkannya.
Bedhaya lazimnya ditarikan oleh 9 penari. Ini terutama pakem ketika ditarikan dalam lingkungan kraton. Hanya saja, Jika tari ini harus ditampilkan di luar kraton, maka jumlah penarinya harus lebih sedikit dari sembilan orang, bisa 7 atau 6 orang. Formasi dasar bedhaya dengan 9 penari menyimbolkan angka sakral 9 serta seluruh arah mata angin dalam ajaran falsafah Jawa. Dalam keyakinan Hindu Dharma, yang kemudian diserap oleh falsafah hidup masyarakat Jawa, ada 9 dewa (nawasanga) penguasa penjuru mata angin. Mereka adalah Wisnu di utara, Sambu di timur laut, Iswara di timur, Mahasora di tenggara, Brahma di selatan, Rudra di barat daya, Mahadewa di barat, Sengkara di barat laut, dan Siwa di tengah. Filosofi 9 arah mata angin menyimbolkan keseimbangan alam secara mikrokosmos dan makrokosmos. Berkaitan dengan itu, sembilan penari dalam bedhaya melambangkan manusia beserta berbagai anggota badannya. Masing-masing memiliki sebutan dan makna: Batak (jiwa dan pikiran), Jangga/Gulu (leher), Dada (dada), Endel Ajeg (nafsu/hasrat), Apit Ngarep (lengan kanan), Apit Mburi (lengan kiri), Buncit (simbol organ seks), Endel Weton (kaki kanan), dan Apit Meneng (kaki kiri). [Rasti Wijayanti (Edukator Museum Ullen Sentalu 2013-2014), Yoseph Kelik (Periset di Museum Ullen Sentalu) & Isti Yunaida (Humas dan Edukator Senior Museum Ullen Sentalu] Referensi
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |