Banyak dokter dan administrator Eropa memberi komentar kritis tentang pengobatan pribumi. Namun, mereka juga tidak benar-benar peduli dengan kondisi pribumi. Merujuk analisis Leo van Bergen dkk dalam Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942 (2019), orang Eropa cenderung sejauh mungkin tidak terlibat langsung dalam kehidupan sosial-budaya pribumi. Ini bersangkut-paut dengan kebijakan hukum pihak Kolonial Belanda yang sejak 1854 memilah dan stratifikasikan penduduk Hindia Belanda secara ras dan etnis, dengan awalnya dipilah menjadi golongan Eropa dan golongan pribumi, lalu pada akhir abad XIX ditambahkan golongan Timur Asing dengan penempatan di antara dua golongan sebelumnya. Dalam masyarakat yang cenderung tersegregasi semacam ini, dokter Eropa cenderung pula hanya mau merawat orang Eropa.
Dalam program vaksinasi cacar pun, yang sebenarnya telah dirintis sejak awal abad XIX, dokter-dokter Eropa cenderung sebatas membantu mengawasi. Enggan untuk terjun langsung memvaksinasi sampai jauh ke pelosok, yang memang lebih rawan juga terpapar aneka penyakit tropis. Firman Lubis dalam Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa (2008) menjelaskan bahwa kondisi semacam itu baru berubah sejak Pemerintahan Kolonial atas saran Dokter Willem Bosch membuka sekolah pendidikan vaksinator bagi masyarakat bumiputra, yang lantas ditingkatkan lagi menjadi sekolah dokter. Vaksinator dan kemudian dokter bumiputra ini diharapkan dapat menggeser peran dukun di dalam masyarakat pribumi. Melalui interaksi dengan dokter-dokter bumiputra pula lah, dokter-dokter Eropa mulai mempelajari herba sebagai alternatif obat impor dari Belanda yang biayanya mahal dan ketika tiba kadang-kadang kondisinya rusak. Contoh perkembangan ini adalah Dokter AG Vordeman yang menulis artikel tanaman-tanaman obat herba dalam jurnal ilmiah Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (GNTI) tahun 1884: 269-344. Dokter-dokter bumiputra yang dihasilkan melalui pendidikan Barat adalah garda terdepan bagi dunia kesehatan modern di Hindia Belanda. Memanfaatkan perpaduan propaganda medis dan ajaran muslim adalah salah satu cara dokter bumiputra dalam sosialisasikan higienitas dalam kehidupan masyarakat Hindia Belanda saat itu. Mereka mengubah paradigma masyarakat yang selalu takut berobat ke rumah sakit karena anggapan penanganan dokter di rumah sakit pemerintah adalah “membedah dan memotong” atau mengoperasi. Mereka juga menjadi pejuang bagi rakyat pribumi yang awalnya disisihkan kesehatannya menjadi golongan yang juga diperhatikan. Apa lagi sedari kebijakan Politik Etis resmi disampaikan Ratu Wilhelmina (1901), negara kolonial memang mulai menerima tanggung jawab resmi atas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat pribumi. Pemerintah mulai menambah fasilitas kedokteran. Rumah sakit dan klinik-klinik baru dibangun. Pengelolaan beberapa darinya bahkan dipercayakan kepada kepemimpinan pejabat pribumi. Dokter dan tenaga kesehatan ditingkatkan mutunya. Sekolah pendidikan dokter untuk masyarakat bumiputra ditambah, tak lagi hanya STOVIA di Batavia, tapi juga lantas ada NIAS di Surabaya. Tak Kalah Mumpuni Jurnal ilmiah GNTI merekam babak baru dunia kesehatan tersebut. Pada awalnya, selama jangka waktu yang lama, GNTI hanya mengenal para penulis Eropa. Namun, seiring waktu semakin banyak dokter bumiputra muncul menulis di GNTI. Leo van Bergen dkk (2019) memaparkan bahwa untuk menjadi penulis GNTI mensyaratkan seseorang harus berprofesi dokter dan mempunyai riset atau pemikiran yang layak publikasi. Memang hanya beberapa dokter bumiputra yang prestisius yang mampu menulis di jurnal GNTI. Sebut saja Raden Mas Sardjito. Lulusan STOVIA tahun 1915 ini mampu melanjutkan pendidikan doktor di Universitas Amsterdam dengan disertasinya tentang imunisasi terhadap penyakit disentri basiler. “Immunisatie tegen bacillaire dysenterie door middel van den bacteriophaag anti-dysenteriae shiga-kruse” merupakan judul rinci dari disertasi sang dokter yang di kemudian hari menjadi rektor pertama Universitas Gadjah Mada 1949-1961 serta namanya diabadikan untuk menamai Rumah Sakit Umum Pusat di Yogyakarta. Sardjito tercatat memberikan kontribusi dalam penulisan 29 artikel di jurnal GNTI pada tahun 1926-1941. Di samping Sardjito, setidaknya ada lima dokter bumiputra mumpuni lain yang juga berkontribusi tulisan di GNTI. Dua yang pertama adalah rekan dekat Sardjito, yakni Ahmad Mochtar dan J.B. Sitanala. Ahmad Mochtar sendiri mempunyai fokus pada penyakit Leptospirosis atau penyakit Weil. Ia tercatat menulis 25 artikel di GNTI. Salah satu pencapaian gemilang dalam karirnya adalah menjadi direktur bumiputra pertama di Lembaga Eijkman pada 1937. Sementara Sitanala memang sedari awal ditunjuk Menteri Urusan Tanah Jajahan, J.C. Koningberger untuk mempelajari penyakit kusta atau lepra. Itulah alasannya ia cukup banyak menulis karya kolaborasi tentang kusta. Nama Sitanala sejak 1962 diabadikan sebagai nama rumah sakit dan sekaligus pusat rehabilitasi penderita kusta di Tangerang. Tiga dokter bumiputra lain yang juga menjadi kontributor GNTI adalah Soesilo, Mohamad Amir, dan Mas Soetopo Reksapoetro. Soesilo adalah adik dari Dokter Soetomo, tokoh pergerakan nasional. Soesilo ini banyak membahas tentang penyakit Malaria. Sepanjang tahun 1926 – 1936, ia menulis 23 artikel tentang Malaria di GNTI. Bahkan pada tahun 1931, ia didapuk sebagai Kepala Pemberantasan Malaria di seluruh Hindia Belanda. Mohamad Amir adalah Ketua II Jong Sumatera. Ia mempunyai fokus tentang psikiatri dan farmasi forensik. Pada tahun 1932-1933, ia menulis dua topik tadi dalam 22 artikel di GNTI. Berkat karirnya, setelah kemerdekaan, Amir diangkat menjadi menteri dalam Kabinet pertama Soekarno. Dermatologi adalah bidang yang ditekuni oleh Mas Soetopo Reksapoetro. Lulusan NIAS ini pernah menjadi Menteri Kesehatan dalam Kabinet Abdul Halim. Ia menulis 11 artikel terkait dermatologi. Berkat karirnya, pada tahun 1951, ia mendapat kehormatan sebagai Profesor Dermatologi UGM dan bekerja di Lembaga Penelitian dan Pembasmi Penyakit Penyakit Kelamin. Selain orang pribumi tulen, warga Indo-Eropa seperti Carel van Joost juga banyak menulis di GNTI. Van Joost menulis 26 artikel tentang penyakit Tuberkolosis atau TBC. Ada juga warga Peranakan Tionghoa yang menulis artikel di GNTI. Kwa Tjoan Soe dan Tan Kim Hing menulis tentang Tuberkulin pada anak sekolah Cina di Batavia. Liem Tjay Tie menulis tentang tingkat kematian bayi di kalangan populasi Cina di Batavia. Sie Boen Lian, seorang ahli offalmologi membahas 15 artikel di GNTI tentang penyakit mata sepanjang tahun 1928-1942. Berkat ilmunya, Boen Lian sempat mendapat kehormatan sebagai Dokter Pribadi Presiden Soekarno. Lalu masih ada Loe Ping Kian, seorang dokter Peranakan Tionghoa yang awalnya menulis tesis tentang Sypilis, tetapi kemudian menekuni ilmu gizi. Ia menulis 14 artikel masalah gizi di GNTI sejak tahun 1933-1942. Karya-karya dokter bumiputra dalam jurnal GNTI adalah bukti bahwa meski mendapat perlakuan diskriminasi, tetapi dokter bumiputra tak kalah mumpuni. Berkat terbitan mereka di GNTI, dokter bumiputra memerjuangkan citra ‘setara’ dengan dokter Eropa. Bahkan J. Kevin Baird dkk dalam War Crimes in Japan Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine (2015) menganggap Lembaga Eijkman yang mayoritas diisi dokter-dokter bumiputra adalah mercusuar bagi keadilan rasial zaman Hindia Belanda. Di sana, orang Indonesia dan Belanda sama-sama dinilai dan dimajukan berdasarkan keunggulan, bukan lagi ras, etnis, atau keyakinan agama. DAFTAR PUSTAKA: Baird, J. Kevin, Sangkot Marzuki, Mark Harrison. 2015. War Crimes in Japan Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine. Lincoln: Potamac Books. Bergen, Leo van, Liesbeth Hesselink, dan Jan Peter Verhave. 2019. Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran Hindia-Belanda 1852-1942. Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Lubis, Firman. 2008. Kenangan Semasa Mahasiswa. Jakarta: Masup Jakarta. Bab 5.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
November 2024
Categories |