Masih menurut Lombard dan buku Nusa Jawa: Silang Budaya 2, tepatnya di halaman 320 dan 488, yang juga mengutip kajian Phillip Leo pada 1975 perihal Chinese Loanwords, penamaan “soto” berasal dari kata “caodu”. Artinya kurang lebih adalah “babat” atau “isi saluran pencernaan hewan ternak seperti babi atau sapi yang dimasak dan dikonsumsi”.
Namun, mengutip utas kreasi 1 Desember 2020 di akun Twitter @senjatanuklir milik Aurelia Vizal yang kerap membahas sejarah dan budaya Tionghoa, tafsir penamaan soto dengan akar kata bahasa Mandarin yang berarti “babat”, yakni “caudo”, cenderung meragukan. Pasalnya pada sekitar tahun-tahun kemunculan awal soto di Jawa, yakni sekitar abad XVII dan di Tiongkok terjadi peralihan dinasti penguasa dari Ming ke Qing, penggunaan bahasa Mandarin bukanlah sesuatu yang lazim di kalangan imigran Tionghoa di Nusantara, yang umumnya berasal dari Tiongkok Selatan. Masih menurut Aurelia Vizal, penamaan “soto” yang kini lazim dikenal dalam khazanah kuliner Indonesia lebih mungkin berasal dari topolek dialek Hokkien. Kata dalam dialek Hokkien yang diduga kuat merupakan akar bagi “soto” adalah “tacauto” yang berarti “memikul meja dapur”. Perkiraan tentang kata ini dikaitkan dengan awal mula cara soto dijajakan dahulu, yakni dijual keliling memakai pikulan alias angkring. Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2 juga menyebut bahwa para pedagang Tionghoa di Nusantara awalnya lazim menjajakan makanan-minuman jualan mereka memakai pikulan. Brongkos, yakni sejenis sayur berkuah kental dan gelap yang memang sejak lama cukup populer dalam masyarakat Yogyakarta dan Jawa selebihnya. Kuah kental dan gelap pada brongkos datang dari dipergunakannya santan dan keluak alias kepayang sebagai dua di antara bahan masakan. Bumbu lainnya yang juga dipergunakan adalah bawang putih, bawang merah, kunyit, cabe merah, kemiri, lengkuas, juga daun jeruk. Kacang tolo rasanya bisa disebut isian khas untuk brongkos. Itu biasanya masih ditambah bermacam isian lain mulai dari irisan tahu, kulit melinjo, kacang merah, telor rebus, kikil, koyor, serta daging sapi. Dengan adanya bermacam bumbu dan bahan semacam tadi, citarasa brongkos adalah perpaduan antara gurih-manis yang medhok sekaligus padu, tetapi punya juga kilasan rasa pedas menyelingi. Penggunaan kacang tolo dalam brongkos mengindikasikan bahwa dalam sayur ini ada unsur pengaruh dari luar Jawa dan bahkan luar Nusantara. Menurut Encylopedia Americana volume 8: Corot to Desdemona (1973), kacang tolo adalah tanaman yang telah dibudidayakan selama sekian ribu tahun. Ada beberapa pendapat tentang asalnya, mulai dari Afrika, tapi ada juga yang lebih meyakini dari Iran dan India. Pada abad XVII Masehi atau tahun 1600-an, persebaran budidaya tanaman in telah sampai Kepulauan Hindia Barat alias Karibia, juga sampai di Daratan Amerika Utara. Tanaman ini masih jadi komoditas pertanian penting di India dan China. Dari dua negeri yang punya relasi berabad-abad dengan Asia Tenggara itu lah, kacang tolo akhirnya masuk dan dibudidayakan juga di Nusantara. Tentang pecel sebagai kombinasi beberapa sayur yang diguyur saus bumbu kental sebenarnya merupakan hidangan yang konon bisa diyakini telah dikenal orang Jawa dari sekitar abad X Masehi alias tahun 900-an. Ini karena dalam sumber dari 11 abad silam itu ada kata-kata yang dapat ditafsir mendeskripsikan pecel serta beberapa olahan lalapan lain. Satu di antara sumber sejarah bahwa pecel telah berumur sekitar 1.100 tahun adalah Prasasti Siman dari 943 Masehi atau zaman Maharaja Sindok dan merupakan temuan dari daerah Kediri, Jawa Timur. Sumber lain dari zaman Hindu Buddha yang juga mengindikasikan keberadaaan pecel adalah Kakawin Ramayana, yakni saduran kisah Ramayana versi Jawa. Pecel juga disebutkan dalam kitab Babad Tanah Jawa tulisan sekitar medio 1700-an Masehi. Itu tepatnya pada sedikit nukilan tentang hidangan yang disuguhkan Ki Ageng Karanglo kepada Ki Ageng Pemanahan ketika mereka bersua di Taji, di sekitar Klaten saat ini. Namun, menurut barista senior sekaligus q-grader Laila Dimyati via dua twit di @lailadimyati selaku akun Twitter pribadinya pada 10 Agustus 2021, saus kental untuk disiramkan kepada pecel bisa diperkirakan awalnya semasa zaman Hindu-Buddha bukanlah berbahan kacang tanah. Saus kentalnya justru berbahan salah satu umbi-umbian. Ini karena kacang tanah baru sampai di Jawa pada zaman kedatangan para penjelajah samudera dan para kolonial Eropa. (YOSEF KELIK/Periset di Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
October 2023
Categories |