Hari perayaan setelah puasa sebulan sepanjang Ramadhan disebut para Muslim sebagai Idul Fitri. Orang-orang Indonesia menyebut hari besar yang jatuh pada 1 Syawal menurut kalender Hijriyah itu dengan istilah lokal “Lebaran”, sedangkan orang-orang Malaysia menyebutnya sebagai “Raya”.
Laku berpantang makan-minum selama hitungan beberapa jam tertentu dalam sehari hingga sejumlah hari tertentu, dengan disertai meredam berbagai perilaku tak terpuji. Kiranya demikianlah definisi terhadap kata “puasa” yang cukup ringkas secara kata-kata, tetapi sekaligus sudah bisa menggambarkan hal-hal yang dikerjakan di dalamnya. Dalam agama Islam, puasa Ramadhan juga bukanlah satu-satunya jenis puasa. Ada juga dikenal bentuk-bentuk puasa lainnya seperti puasa Arafah, puasa Senin Kamis, puasa Daud. Puasa dalam aneka varian penerapan ternyata dikenal pula dalam agama-agama lain serta dalam tradisi etnis lokal di Nusantara. Dalam budaya Jawa dikenal adanya beberapa beberap macam puasa yang dikerjakan menurut inisiatif orang yang hendak menempa dirinya. Contohnya antara lain pasa mutih (puasa yang dijalankan dengan hanya mengonsumsi nasi putih tanpa tambahan lauk dan sayur), pasa ngrowot (puasa yang dijalankan dengan hanya mengonsumsi bahan pangan berupa umbi-umbian dan sayur mayur), pasa ngebleng (puasa tanpa makan-minum secara sehari-semalam penuh dengan durasi minimal tiga hari tiga malam). Dalam agama Kristen Katolik ada masa puasa dan pantang hal-hal yang menjadi kesenangan selama 40 hari sebelum Hari Raya Paskah. Masa puasa itu biasanya jatuh pada sekitar Februari hingga April dalam Tarik Masehi. Masing-masing umat secara umum diberi kesempatan untuk menentukan derajat puasa dan pantangnya, di samping Rabu Abu dan Jumat Agung yang menjadi hari-hari wajib berpuasa dan berpantang. Penganut agama Hindu Dharma, khususnya yang berlatar belakang etnis Bali, terlebih bermukim di Bali, terutama menjalani puasa pada Peringatan Nyepi yang berlangsung 24 jam sebelum Hari Raya Tahun Baru Saka. Yang dijalani tak cuma tidak makan dan tidak minum, tapi tinggal di dalam rumah atau pura alias tidak bepergian, tidak mengerjakan pekerjaan fisik, tidak menyalakan api dan cahaya, juga tidak menikmati hiburan atau keindahan. Menariknya pada 2023 ini, puasa Ramadhan dalam agama Islam, masa puasa dan pantang ala agama Kristen Katolik, juga peringatan Nyepi menurut agama Hindu saling beririsan pelaksanaannya pada Maret dan April. Brata penyucian jelang Nyepi dan hari pertama Puasa Ramadhan bahkan saling beriringan harinya pada pekan IV Maret 2023 Puasa memiliki penyebutan “saum” dalam bahasa Arab. Namun, istilah dalam bahasa Arab yang sebenarnya juga terserap ke dalam bahasa Indonesia tersebut agaknya kalah populer dibanding istilah lokal “puasa”. Dalam bahasa Jawa pun, “siyam” sebagai penyerapan terhadap kata “saum” dari bahasa Arab terbilang kalah populer dari “pasa”. Istilah “puasa” dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, lalu istilah “puwasa” dan “pasa” dalam bahasa Jawa sejatinya lebih merupakan serapan dari kata “upawasa” dalam bahasa Kawi/Jawa Kuna, yang merupakan juga serapan dari kata “upavasa” dalam bahasa Sanskerta. Bahwa puasa memiliki akar etimologi dari bahasa Sanskerta ditunjukkan oleh A Comprehensive Indonesian-English Dictionary, Second Edition karya Alan M Stevens dan A Ed Schmidgall-Telling, terbitan Ohio University Press pada 2010. “Upavasa” menurut Monier-Williams Sanskrit English Dictionary memang secara diringkas dimaknai sebagai “berpuasa” . Dalam Puranic Encyclopedia, “upavasa” dimaknai sebagai “kembali dari dosa dan bertindak menuju kehidupan yang baik”. Hal-hal baik yang dimaksud di sini adalah termasuk berpuasa atau berpantang menikmati makanan-minuman atau sajian duniawi lainnya. “Upawasa” menurut Old Javanese-English Dictionary karya PJ Zoetmulder dan SO Robson memang berakar dari “upavasa” dalam Sanskerta. Makna katanya pun adalah “berpuasa”. Lebih lanjut tentang istilah “puasa” dan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, juga “pasa” dalam bahasa Jawa, asal-usul atau setidaknya keterkaitannya dengan “upawasa” dalam bahasa Kawi serta “upavasa” dalam bahasa Sanskerta direkam oleh penamaan salah satu bulan dalam kalender Jawa. Kalender itu tercipta sebagai hasil titah Sultan Agung dan diberlakukan di Jawa sejak 1633 Masehi. Kalender Jawa sejak pemberlakuannya jadi semacam versi adaptasi lokal Jawa untuk tarik Hijriyah Jumlah hari dalam setahun mengikuti Hijriyah. Begitu juga jumlah hari dalam sebulan mengikuti Hijriyah. Namun hitungan urutan tahun masih tetap mengikuti hitungan urutan penanggalan Saka. Menariknya, dalam kalender Jawa ala Sultan Agung, penamaan untuk bulan ibadah puasa sebelum Idul Fitri tidak dinamai menurut versi serapan bahasa Arabnya, Ramadhan. Bulan itu justru dinamai sebagai Pasa. (Yosef Kelik, Periset di Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
November 2024
Categories |