Untuk Ullen Sinau seri Sapa Kawruh pada Juli 2024, peserta mencapai 30 orang. Mereka datang dari Jogja, Magelang, dan sekitarnya.
“Prasasti dan Kakawin, 2 Format Literasi Paling Awal di Jawa” adalah topik bahasan diskusi. Narawicara kali ini adalah dua edukator Museum Ullen Sentalu. Mereka adalah Ria Ristiningsih yang biasa dipanggil Risti serta Kezia Permata yang biasa di sapa Kenzie. Risti meraih gelar Sarjana dari Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM), sedangkan Kezia meraih gelar Sarjana dari Jurusan Sastra Jawa UGM sekaligus menyandang gelar Master di bidang History of Art and Archaeology dari School of Orient and African Studies (SOAS), University of London. Prasasti Sipater Risti menjadi narawicara sesi bahasan pertama yang berfokus kepada prasasti. Ia memaparkan presentasi bertitel “Penetapan Sima Sebagaimana Prasasti Sipater”. Presentasi ini bersumber dari skripsi S1 Risti pada 2022. Ia menerangkan perihal pengetahuan mendasar tentang prasasti. Contohnya dua macam definisi dari prasasti, yakni “dekrit, proklamasi, maklumat, pengumuman, surat keputusan, piagam”, yang kedua adalah “tulisan kuno yang dipahatkan pada media tertentu yang dikeluarkan oleh raja atau pejabat pada masa Hindu-Buddha”. Prasasti Sipater sekitar abad ke sembilan Masehi, kini tersimpan di Museum Tosan Aji, Purworejo. Penemuannya kembali terjadi pada 1980 di Jenar Kidul, Kabupaten Purworejo. Pada 1984, prasasti tersebut secara perdana dibaca isinya oleh arkeolog Sukarto Karto Atmodjo. Hasil pembacaannya dipresentasikan dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II di Cisarua, Jawa Barat, 1984. Risti melakukan pembacaan ulang terhadap Prasasti Sipater setelah melakukan teknik fotogrametri dan menghasilkan model 3 dimensi dari prasasti tersebut. Ini dimaksudkan untuk dapat menghasilkan pengenalan aksara maupun tanda-tanda lain pada prasasti secara lebih detail. Prasasti batu ini dinamai Prasasti Sipater karena menyebut kata Sipater dan Pariwutan sebagai nama dua desa yang mendapat anugerah status sima yaitu tanah perdikan, atau tanah bebas pungutan pajak negara. Menurut Prasasti Sipater, penganugerahan status sima untuk dua desa tersebut berkaitan pula dengan pembangunan suatu bendungan di daerah itu. Pembebasan pungutan pajak dimaksudkan agar sumber daya ekonomi dua desa dapat difokuskan untuk pemeliharaan bendungan. Hasilnya diharapkan membantu produktivitas lahan pertanian masyarakat daerah tersebut. Dalam Prasasti Sipater dicuplikkan pula beberapa persembahan hadiah dari tokoh-tokoh daerah penerima kepada para pejabat pemberi anugerah sima yang hadir, yaitu Rakryan Samgat Sayuhanan dan Nayakan Samgat Kayuantan. Berupa emas sebanyak 5 suwarna dan kain ganjar haji sebanyak 1 yugala. Para tokoh setempat penghatur persembahan disebut dalam prasasti adalah Sang Gwahaji, Sang Agaya, serta semua rama Wlahan. Sayangnya, Prasasti Sipater ditemukan dalam kondisi tidak utuh. Bagian atas dari prasasti batu ini hilang. Prasasti Sipater tinggal berisi tiga poin di antara 19 poin informasi yang biasanya termuat dalam prasasti utuh. Akibatnya, tahun pasti terbit prasasti serta sosok raja penguasa yang menerbitkan prasasti tersebut tidak dapat diketahui. Kedua informasi tak termuat dalam sisa bongkahan batu Prasasti Sipater. Kemudian dipakai pendekatan paleografi dengan membandingkan bentuk aksara maupun gaya penulisannya dengan prasasti-prasasti lain sehingga tercapai taksiran kurun asal dari Prasasti Sipater. Ternyata banyak kemiripan dengan Prasasti Kayu Ara Hiwang dari 823 Saka/901 M serta Prasasti Gemekan 852 Saka/930 Masehi. Dengan demikian, tahun pembuatan prasasti diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Maharaja Balitung, atau masa pemerintahan Maharaja Wawa, atau juga masa pemerintahan Maharaja Sindok. Ada pertanyaan dari peserta diskusi bernama Deni hal alasan yang menjadi dasar ketertarikan meneliti dan membahas Prasasti Sipater. Risti menjawab, “Salah satu hal yang membuat saya tertarik kepada Prasasti Sipater adalah lokasi penemuan prasasti yang terbilang unik, yakni di dalam masjid, sebagai bagian struktur penyangga atap.” Prasasti Sipater memang berada di dalam Masjid Tiban di Jenar Kidul. Selain itu, Risty sebagai warga asli Kabupaten Purworejo, tertarik meneliti Prasasti Sipater karena menjadi salah satu sumber catatan sejarah daerah asalnya. Kakawin Arjunawiwaha Jelang pukul 10.00, Kezia menyambung menjadi narawicara kedua yang berfokus kepada kakawin. Ia memaparkan presentasi dari skripsinya pada 2020 serta thesisnya pada 2022 bertema “Dari Literasi ke Visualisasi: Relief Arjunawiwaha di Candi Kedaton”. Kezia menjelaskan pengertian dasar kakawin yang memadukan definisi singkat dari PJ Zoetmulder dalam buku legendarisnya, Kalangwan, dengan definisi yang dirumuskan Zoetmulder bersama SO Robson dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Bahwa kakawin dapat diartikan sebagai “puisi berbahasa Jawa Kuna yang memakai metrum India. Ada pertanyaan dari Ginanjar, peserta dari Magelang berupa untuk dapat menulis kakawin apakah dibutuhkan akreditasi khusus yaitu hanya dikhususkan untuk kalangan terdidik khusus? Kezia menjawab bahwa penulis kakawin adalah para kawi atau ahli sastra. “Mereka adalah kelompok masyarakat yang sejak kecil, dewasa, dan tua hidup dalam kebiasan sehari-hari yang berisikan mendengarkan dan menuliskan sastra”. Saat Kezia menjelaskan tentang Arjunawiwaha, ia menyebut kakawin ini diperkirakan sebagai hasil penulisan sekitar 1028-1035 Masehi. Penulisnya adalah oleh Mpu Kanwa, pujangga masa pemerintahan Raja Airlangga. Arjunawiwaha dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna memiliki arti “Pernikahan Arjuna”. Kakawin ini berkisah tentang keberhasilan Arjuna mengalahkan seorang raja raksasa yang membuat keonaran sehingga ia dianugerahi oleh para dewa berupa kesempatan untuk menikahi beberapa bidadari sekaligus. Hingga kini, para pakar sejarah maupun pakar sastra Jawa Kuna masih cenderung menerima bahwa Arjunawiwaha merupakan lakon sastrawi terdramatisasi yang mencoba menyiratkan kisah hidup Maharaja Airlangga. Karya sastra ini diyakini ditulis Mpu Kanwa sebagai wujud puja-puji pengagungan ketokohan Maharaja Airlangga, mulai dari kenangan atas keberhasilannya melalui tiga tahun persembunyian di hutan, hingga meliputi operasi militer penaklukan berbagai kerajaan kecil di Jawa Timur yang sebelumnya merupakan bawahan Maharaja Dharmawangsa, mertua Airlangga. Arjunawiwaha merupakan versi gubahan Jawa yang memadukan kisah dari dua epos mahakavyas asli India, yakni Mahabharata dari bagian Wanaparwa, dan Kiratajurniya. Wanaparwa dari Mahabharata adalah kisah Arjuna bertapa di Gunung Indrakila di antara masa pembuangan selama 12 tahun bagi para Pandawa, dengan maksud supaya dewa berkenan menganugerahkan senjata-senjata sakti sebagai bekal menghadapi Bharatayudha. Kiratajurniya adalah kisah pertemuan Arjuna dengan Siwa. Tentang kisah Arjunawiwaha, Kezia membuat perbandingan sekaligus cros cek kesesuaian cerita dari versi yang telah terpahat sebagai relief candi dengan versi yang termuat dalam naskah lontar yang ditemukan di Bali. Kezia meneliti Candi Kedaton yang berisi relief Arjunawiwaha terletak di Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Berkaitan dengan lokasi desa yang ditempati, candi ini disebut juga sebagai Candi Kedaton Andungbiru. Di pipi tangga sisi luar sebelah kiri ada terpahat angkat tahun 1292 Saka atau 1370 Masehi. Hal ini menunjukkan bahwa candi yang berbentuk lapik/batur dan menghadap ke arah barat laut merupakan peninggalan zaman Majapahit. Di Candi Kedaton Andungbiru, kisah Arjunawiwaha dipahatkan mengisi panel-panel relief yang menghiasi bagian kiri candi. Namun, jika dibandingkan dengan kisah lengkap Arjunawiwaha yang tertulis dalam kitab kakawin, maupun yang hidup sebagai tradisi lisan di Bali, juga turunan kisahnya sebagai lakon pewayangan Jawa, ternyat relief Arjunawiwaha di Candi Kedaton Andungbiru tidaklah bercerita sampai tamat, tapi berhenti di bagian Arjuna akan menghadapi pertarungannya dengan Raja Raksasa Niwatakawaca. Bagian belakang candi ganti diisi relief-relief tentang kisah Garudeya, sedangkan sisi kanan candi ganti diisi relief-relief tentang kisah Bhomantaka. Menurut Kezia, relief-relief Arjunawiwaha di Candi Kedaton Andungbiru tidak tamat seperti cerita dalam kakawin bukan karena reliefnya belum rampung. Hal itu juga terjadi pada cerita di relief-relief Garudeya dan Bhomantaka. Bisa diyakini bahwa pembuat candi maupun pemahat relief memang sengaja tidak memvisualkan tiga cerita tadi sampai tamat. Kemungkinan sengaja bahwa relief-relief itu diciptakan untuk para audiens yang paham isi cerita Arjunawiwaha, Garudeya, juga Bhomantaka. Sehingga cukup dihadirkan sejumlah cuplikan adegan tertentu, audiensi diyakini sudah paham akhir cerita seperti dalam kakawin. Menurut Kezia, relief-relief Arjunawiwaha di Candi Kedaton Andungbiru memang terutama dua penggambaran Arjuna dalam isi cerita, yakni pertama sebagai yogi atau pertapa sederhana nan rendah hati, lalu kedua sebagai kshatriya yang teguh pendirian serta gagah berani. Barisan aneka relief yang berisi kisah Garudeya dan Bhomantaka difungsikan setara sebagai pembanding sekaligus penegas pesan tentang keteladanan kisah ksatria tersebut. (YOSEF KELIK/Tim RIset Museum Ullen Sentalu)
1 Comment
|
Archives
May 2024
Categories |