Dinasti Sailendra
Jauh sebelum perpindahan ibukota negara-negara tersebut, di bumi Jawa berabad silam pun sudah mengisahkan perpindahan ibukota. Ibukota Medang atau Mataram Kuno era Dinasti Sailendra berpindah-pindah setidaknya tiga kali. Prasasti Mantyasih III (929 M) menyebut ibukota Medang pada pemerintahan Maharaja Sanjaya (732-746 M) bernama Poh Pitu. Kedudukannya diperkirakan di sekitar daerah Borobudur, Magelang. Merujuk isi Prasasti Siwagrha (856 M), ibukota Medang semasa pemerintahan Maharaja Pikatan (847-855 M) dan Maharaja Kayuwangi (855-885 M) bernama Mamrati. Lokasinya diperkirakan di sekitaran Prambanan. Prasasti Wulanggi (927 M) dan Prasasti Sangguran (928 M) telah ganti menyebut ibukota Medang pada 920-an Masehi dengan nama Mataram. Kedudukannya di sekitaran kota Yogyakarta saat ini. Dinasti Isyana Jika para maharaja pendahulunya sekadar memindah-mindahkan ibukota dalam radius belasan atau puluhan kilometer saja, tidak demikian dengan Maharaja Sindok (928-947 M). Didorong keharusan menjauhkan diri dari bencana alam, Sindok memindahkan ibukota Medang hingga beratus kilometer jauhnya, dari semula di Jawa Tengah bagian selatan menjadi ke Jawa Timur sekitar Jombang sekarang. Pemindahan ibukota oleh Sindok tadi dirujuk dari isi Prasasti Jedong (929 M). Itu sekaligus menandai peralihan dinasti dari Sailendra ke Isyana. Lebih lanjut menurut Prasasti Turyan (929 M), istana dan ibukota pertama Maharaja Sindok di Jawa Timur berkedudukan di Tamwlang. Itu kini dikenal sebagai Kecamatan Tambelang di Kabupaten Jombang. Tamwlang bukan juga satu-satunya ibukota Medang semasa pemerintahan Sindok. Menurut Prasasti Siman II (943 M), ibukota Medang di masa akhir pemerintahan Sindok telah berpindah ke Watugaluh yang masih berada di sekitaran Jombang saat ini. Ada beberapa kali juga pemindahan ibukota pada masa pemerintahan para pengganti Sindok. Prasasti Sendang Kamal (992 M) menyebut istana dan ibukota Maharaja Dharmawangsa bernama Wwatan dengan perkiraan lokasi di sekitar Magetan. Prasasti Terep (1032 M) menyebut Maharaja Airlangga beribukota di Wwatan Mas yang berlokasi di dekat Delta Sungai Brantas. Majapahit Majapahit pun konon setidaknya tiga kali berpindah ibukota. Pertama di Trik di sisi utara bagian hilir Sungai Brantas. Ibukota di Trik antara lain dengan merujuk isi Prasasti Sukamerta (1296 M) diperkirakan digunakan pada masa pemerintahan maharaja pertama, Dyah Wijaya alias Kertarajasa Jayawardhana. Urutan dua dan paling lama menjadi ibukota Majapahit adalah di lokasi yang kini kita kenal sebagai Trowulan di Mojokerto. Pemindahan ibukota dari Trik di sisi utara bagian hilir Brantas ke Trowulan di seberang selatannya diindikasikan oleh isi Prasasti Tuhanaru (1323). Jayanegara diyakini sebagai sosok maharaja yang melalukan pemindahan tersebut. Ibukota ketiga Majapahit dan digunakan terakhir jelang keruntuhannya adalah Daha. Lokasinya ada di sekitar kota yang kini kita kenal sebagai Kediri. Sumber dari hal ini ialah prasasti-prasasti yang dikeluarkan Maharaja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya pada 1486, yakni Prasasti Petak dan Prasasti Jiyu. Mataram Islam Kerajaan Mataram Islam yang didirikan Panembahan Senopati pada 1584 tak luput pula dari urusan pindah ibukota negara. Perpindahan itu bahkan sempat beberapa kali antara 1618-1746. Dari Kotagede ke Karta, lalu Plered, lalu ke Kartasura, dan kemudian ke Surakarta. Ibukota ketiga, Plered, dan ibukota keempat, Kartasura, sama-sama pernah mengalami kemalangan besar. Plered terletak di selatan Kotagede. Ibukota dengan istana di tepi suatu danau buatan ini dibangun pada masa pemerintahan Amangkurat I. Plered hancur karena perang antara Amangkurat I dengan Trunajaya pada 1677. Putra sekaligus pengganti Amangkurat I, yaitu Amangkurat II, dipaksa membangun ibukota baru di desa Wanakerta, yang selanjutnya diganti namanya menjadi Kartasura. Sayangnya, ibukota dan istana Kartasura mengalami kerusakan serius terdampak Geger Pacina (1740-1743). Terlebih ketika Kraton Kartasura diduduki Kelompok Perlawanan Jawa yang bersekutu dengan para Pelarian Tionghoa dari Batavia. Dua kubu tersebut disatukan oleh niat melawan penindasan VOC Belanda, juga kekecewaan terhadap Susuhunan Pakubuwana II yang tak melanjutkan perlawanan terhadap VOC. Semuanya tadi memorak-porandakan isi kraton Kartasura. Pakubuwana II lantas memerintahkan pemindahan kraton ke tempat lain. Dengan berbagai pertimbangan, desa Sala yang terletak 10 kilometer sebelah timur akhirnya dipilih sebagai tempat kraton sekaligus ibukota. Sebagai lokasi tapak kraton, Sala menyisihkan dua desa lain, yakni Kadipala dan Sanasewu. Desa Sala lalu diubah menjadi Surakarta. Sejatinya, penetapan wilayah tujuan pemindahan ibukota sebuah negara pada masa lalu maupun masa kini tentu melewati berbagai pertimbangan untung-rugi. Pemindahan ibukota akan mengubah nasib daerah yang ditinggalkan maupun yang dituju sebagai lokasi baru. Masing-masing bisa menemukan berkah maupun problema, juga peningkatan maupun penurunan.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
April 2024
Categories |