Itu adalah upaya mengakhiri perang saudara yang telah memorak-porandakan seantero negeri Mataram Islam sejak 1746, Perang tersebut kemudian dalam pencatatan sejarah moderen dinamai Perang Suksesi Jawa III atau Perang Takhta Jawa III.
Rangkaian negosiasi yang menghasilkan Perjanjian Giyanti memertemukan dua dari empat pihak utama yang terlibat dalam peperangan tadi. Kubu pertama adalah Pangeran Mangkubumi selaku pemimpin kelompok oposisi utama. Kubu kedua adalah VOC Belanda yang diwakili pejabat tinggi Nicolas Hartingh. Sebelumnya telah pula ada pertemuan pendahuluan di pesanggrahan Pangeran Mangkubumi di Padhagangan, Grobogan. Dalam kontak dan negosiasinnya dengan kubu Pangeran Mangkubumi, VOC sekaligus mewakili kepentingan dari sekutunya, kubu Susuhunan Pakubuwana III yang merupakan juga keponakan Pangeran Mangkubumi, sekaligus pesaing langsung dalam perebutan klaim takhta Mataram Islam sejak wafatnya Susuhunan Pakubuwana pada 1749. Kesepakatan yang dicapai adalah Pangeran Mangkubumi akan memiliki separo negeri Mataram. Separo bagian lainnya tetap berada di bawah penguasaan Susuhunan Pakubuwana III yang juga tetap beribukota dan beristana di Surakarta. Sebagai penguasa atas separo negeri Mataram, Pangeran Mangkubumi bersedia memakai gelar baru Sultan Hamengkubuwana I, antara lain untuk menegaskan perbedaan gelar dengan cabang dinasti Mataram yang dipimpin keponakannya. Pada 1755 ketika hendak dibagi, negeri Mataram sudah jauh menyempit dibandingkan dengan bentang terluasnya di masa Sultan Agung (1613-1646). Mataram pada medio abad XVIII yang sudah dikoyak lima kali perang besar sejak 1677 itu tinggal meliputi sekitaran Banyumas hingga sebelah barat daerah Malang, tapi sudah tidak memiliki kawasan Pesisir Utara Jawa. Tatkala dibagi, partisi yang diterapkan bukanlah iris tengah layaknya pembagian teritori negara moderen seperti terjadi atas Korea dan Vietnam pada medio 1950-an. Pola pembagian wilayah Mataram justru mirip seperti kotak catur. Pasalnya pihak Susuhunan Pakubuwana III dan Sultan Hamengkubuwana I berbagi secara berselang-seling kepemilikan kabupaten-kabupaten mulai dari sekitaran Banyumas hingga sebelah barat Malang. Dengan pembagian model semacam ini, Sultan Hamengkubuwana tetap bisa memiliki ibukota serta istana di bagian tengah Mataram, juga masih di sekitaran tapak-tapak ibukota lama, yang memang dipandang memiliki tuah paling baik untuk umur panjang kerajaan. Itulah yang sampai kini dikenal sebagai Yogyakarta. Pembagian wilayah Mataram Islam ala kotak catur lantas memungkinkan baik pihak Susuhunan Pakubuwana III dan Sultan Hamengkubuwana I memiliki luasan wilayah subur yang kurang lebih sama besar. Penduduk yang menjadi kawula bagi mereka pun terbilang kurang lebih sama banyaknya, yakni sama-sama sekitar setengah juta orang. Mengapa para raja pecahan Mataram Islam tak menganggap aneh pembagian wilayah negara ala pola kotak catur semacam ini? Menurut alam berpikir Jawa medio abad XVII, hal demikian memang tidaklah merugikan. Dua belah pihak malah beroleh perimbangan kekuatan, baik itu dalam hal pungutan pajak dan upeti, jumlah tenaga kerja untuk kerja bakti, hingga potensi calon prajurit yang bisa dimobilisasi jika terjadi perang besar. (Yosef Kelik, Periset di Museum Ullen Sentalu) Referensi: Ricklefs, MC, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Yogyakarta: Matabangsa, 2002 Suwarno, PJ, Hamengkubuono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974, Yogyakarta: Kanisius 1994
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
November 2024
Categories |