Di Kasultanan Yogyakarta, Abdi Dalem Palawija umumnya mendampingi raja dalam momentum khusus seperti upacara penobatan raja (jumeneng) dan upacara grebeg. Dalam kedua momen, Abdi Dalem Palawija bertugas sebagai pengiring dan pembawa perlengkapan upacara (ubarampe).
Dalam prosesi tersebut, mereka umumnya menggunakan kain untuk menutup badannya. Bagi pria, kain panjang hanya digunakan untuk menutup bagian perut ke bawah sehingga penampilannya bertelanjang dada dan mengenakan penutup kepala. Sementara bagi wanita, kain yang mereka kenakan ada dua jenis, yakni kain kemben untuk menutup bagian atas badannya dan kain panjang untuk menutup bagian bawah badannya. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 3, Warisan Kerajaan-kerajaan konsentris (2008) mengulas Abdi Dalem Palawija antara lain berdasarkan dokumentasi pada April 1972 oleh M. Bonneff. Ketika itu, Keraton Yogyakarta menggelar arak-arakan Garebeg Mulud. Dalam acara tersebut, Abdi Dalem Palawija mengiringi gunungan lanang (laki-laki) dan gunungan wadon (perempuan) dari halaman Kemandungan menuju Sitihinggil. Mereka semua laki-laki sehingga busana yang digunakan berupa penutup kepala (kuluk), bertelanjang dada, serta mengenakan kain bermotif kotak-kotak warna hitam dan putih (poleng). Lombard (2008) juga mengatakan bahwa di antara sekian banyak tanda kebesaran yang disimpan di istana Jawa adalah keberadaan Abdi Dalem Palawija. Keberadaan mereka kerap kali disangkut pautkan dengan tokoh pewayangan Punakawan, yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Tokoh-tokoh tersebut memang digambarkan memiliki bentuk fisik yang aneh. Hanya saja, apakah konsep Abdi Dalem Palawija dan tokoh Punakawan memiliki peran yang sama? Hal ini masih perlu dianalisis lebih lanjut. Tokoh Punakawan muncul dalam kesusastraan Jawa pada periode Mataram Islam (abad XVI). Konon kehadiran tokoh tersebut diperkenalkan oleh para wali sebagai para pengiring dan pendamping bangsawan keraton atau raja. Mereka bukan hanya berlakon sebagai pelawak tetapi juga memberi petuah yang bijak, bahkan dianggap sebagai titisan Dewa. Pada abad XVIII dan XIX, figur Punakawan semakin sering ditemukan, contohnya dalam karya-karya sastra periode Yasadipura di Surakarta. Dari karya-karya sastra inilah, istilah Punakawan mulai diperkenalkan. Ini sekaligus menunjukkan kehadiran tokoh Punakawan digali dari kehidupan sosial Jawa yang saat itu memiliki beragam orang-orang dengan kelainan fisik. Beberapa prasasti Jawa Kuno dari abad XI-XIII seperti Prasasti Cane (1021) telah mencatat keberadaan beberapa orang dengan kelainan fisik. Mereka disebut dengan istilah pujut (cacat jasmani), bhondan (budak-budak berkulit hitam), pandak (cebol), wwal atau wyal (wêal) atau orang berpunuk, dan wungkuk (orang bongkok). W.F. Stutterheim dalam Rama-Legenden und Rama-Reliefs in Indonesien (1925) mengklasifikasikan sejumlah orang berkelainan fisik sebagai bagian Abdi Dalem (hulun haji). Mereka tinggal di lingkungan keraton (watek i jro) dan tidak memiliki daerah lungguh sehingga kehidupannya bergantung pada gaji yang diambil dari perbendaharaan raja (drawya haji). Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (1986), menyebut mereka sebagai kelompok rawanahasta, serupa dengan Abdi Dalem Palawija. Keberadaan kelompok rawanahasta sebagai Abdi Dalem didukung beberapa relief candi periode Singosari (abad XIII) dan periode Majapahit (abad XIV) seperti di Candi Jago, Tegawangi, Kedaton, dan Surawana. Pada relief tersebut digambarkan orang-orang berperawakan pendek-gemuk-gempal, berkepala besar, dan mengenakan kain tanpa busana atasan. Mereka digambarkan menjadi pengiring rombongan raja. Penggambaran ini serupa karakter dan tugas dengan Abdi Dalem Palawija. Dengan demikian, rawahasta ataupun Abdi Dalem Palawija kemungkinan sama dan mereka merupakan pendamping setia para raja. Kesimpulan di atas menggambarkan betapa istimewanya Abdi Dalem Palawija. Itulah sebabnya di Keraton Yogyakarta, mereka diberi hak tinggal di sebuah kampung. Kampung tersebut sekarang dikenal dengan nama Kampung Palawijan. Secara administratif, kampung tersebut berada di sebelah utara Kampung Taman atau Kawasan Tamansari sekarang. Kedua kampung dibatasi oleh Jalan Polowijan. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu).
1 Comment
Waluyo
1/7/2024 07:11:05 am
Saya difabel daksa sejak lahir pengguna kursi roda dan motor roda tiga. Ingin mendaftr jadi abdi dalem.nomor hp saya 087838600502
Reply
Leave a Reply. |
Archives
November 2024
Categories |