Pada paro I abad XX, pangeran berparas tampan ini adalah contoh generasi muda Dinasti Mataram Islam, khususnya dari Kasunanan Surakarta, yang mengenyam pendidikan moderen ala Barat. Ia tercatat menjalani tahun-tahun bersekolah di jenjang ELS, MULO, dan AMS.
Ia bahkan sempat mencicip Akademi Militer Breda di Belanda. Namun, hal yang disebutkan terakhir tadi sekadar menjadi pengalaman singkat bagi sang pangeran. Ia sedari awal pun telah dipesan ayahnya agar tidak berlama-lama di negeri Belanda. Tenaga serta pemikiran pangeran yang meminati dunia seni, budaya, olahraga, hingga politik ini dibutuhkan Susuhunan Pakubuwana X dalam menjalankan negeri Surakarta. Sepulangnya Suryohamijoyo dari Belanda, sang ayah memercayakan posisi asisten pribadi kepadanya. Sebagai asisten pribadi raja, pangeran terpelajar ini berperan menjembatani sang ayah yang tidak mungkin menjadi anggota organisasi politik, apalagi menjadi pengurus atau ketuanya. Dalam posisi yang bisa dibilang sebagai tangan kanan ayahandanya, aktivitas Pangeran Suryohamijoyo lantas bersinggungan pula dengan kaum pegiat pergerakan nasionalisme Indonesia pada dekade-dekade terakhir era Kolonialisme Belanda. Suami dari Bendara Raden Ayu (BRAy) Suharti ini tercatat pernah aktif dalam beberapa organisasi pergerakan nasional, yaitu di Budi Utomo dan Partai Indonesia Raya (Parindra). Pada sekitar 1927-1928, Susuhunan Pakubuwana X melalui Pangeran Suryohamidjoyo bahkan mengajak KGPAA Mangkunegara VII untuk bersama-sama mendorong Budi Utomo bergabung ke Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Perhimpunan tersebut kemudian difasilitasi untuk dapat bermarkas di Prangwedanan, Puro Mangkunegaran. Pencapaian Pangeran Suryohamidjoyo di atas tidak bisa terlepas dari pola asuh sang ayah. Selama 46 tahun memerintah, Susuhunan Pakubuwana X telah meletakkan dasar-dasar pergerakan nasional yang kokoh. Gunawan Sumodiningrat dan Ari Wulandari dalam Pakubuwono X; 46 Tahun Berkuasa di Tanah Jawa (2014), menyebutkan bahwa dari kursi kekuasaannya, Pakubuwana X mendukung secara penuh apa saja yang diperlukan untuk kemajuan Indonesia. Beliau menyebarluaskan virus kemajuan dengan mempelopori modernisasi bidang pendidikan. Bahkan putra-putranya disiapkan untuk berada di barisan depan perjuangan Indonesia. Pada masa pemerintahan kakaknya, Susuhunan Pakubuwana XI atau sebelum naik takhta bergelar GPH Hangabehi, Pangeran Suryohamijoyo dipercaya mewakili Kasunan Surakarta untuk duduk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam rapat BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, Pangeran Suryohamidjoyo bahkan mengusulkan penggunaan nama “Nusantara” yang artinya “negeri kepulauan” sebagai pengganti nama negara Indonesia yang hendak merdeka. Namun, usulannya tersebut memang tidaklah diterima oleh forum. Setelah kemerdekaan, Pangeran Suryohamijoyo juga ditunjuk menjadi Ketua Pekan Olahraga Nasional (PON) I yang berlangsung di Kota Solo. Pada momen tersebut, beliau tampil sebagai penerima bendera PON I yang kemudian dikibarkan di Stadion Sriwedari. Talenta Pangeran Suryohamidjoyo sebagai budayawan dan kepintarannya dalam mencipta tari Jawa memiliki warisan yang dapat dinikmati sampai sekarang. Tepatnya dalam wujud pertunjukan rutin Sendaratari Ramayana di Kompleks Taman Wisata Percandian Prambanan. Pangeran Suryohamijoyo adalah salah satu tokoh yang ikut membidani kelahiran Sendaratari Ramayana pada 1961, tatkala Pangeran Jatikusumo yang merupakan adiknya menjabat Menteri Perhubungan Darat, Pos Telekomunikasi, dan Pariwisata. Menurut Yuwono Sri Suwito dalam “Ramayana dalam Pariwisata” yang menjadi bagian buku antologi Ramayana: Transformasi, Pengembangan, dan Masa Depannya (1998), Pangeran Suryohamijoyo bersama Prof Dr Soeharso adalah yang memimpin sub tim pementasan. Guna menyambut pementasan perdana, duet Suryohamijoyo-Soeharso selama 52 hari melatih 865 orang berikut menyiapkan koreografi tarian dan iringan musiknya. Nukilan dokumentasi diri Pangeran Suryohamidjoyo selaku sosok intelektual di Kasunanan Surakarta dapat dinikmati di Museum Ullen Sentalu. Tepatnya menjadi bagian tur Adiluhung Mataram yang mengunjungi zona Guwa Sela Giri serta zona Kampung Kambang. (Restu Ambar Rahayuningsih, Periset di Museum Ullen Sentalu) Referensi: Hamidjoyo, KPH. Soerio Windroyo dalam Husnie. “Sang Penggagas Pertama Kalu Mengusulkan Nama Indonesia Menjadi Nusantara”. Otonominews, 21 Maret 2021. https://m.otonomonews.co.id/read/18162 Kementerian Pemuda dan Olahraga. 1991. Sedjarah Olahraga Indonesia. Jakarta: Kementerian Pemuda dan Olahraga. Sekretariat Negara. 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara. Suwito, Yuwono Sri. “Ramayana dalam Pariwisata” dalam Sarwono Soeprato & Sri Harti Widyastuti (eds). Ramayana: Transformasi, Pengembangan, dan Masa Depannya. 1998. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa & Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa FPBS IKIP Yogyakarta
0 Comments
Leave a Reply. |