Merujuk “Menilik Sejarah Gula, Komoditas yang Bikin Betah Penjajah” yang diunggah oleh katadata.co.id pada 22 September 2022, pabrik-pabrik gula yang didirikan di Jawa sekitar lima tahun sejak penerapan Tanam Paksa antara lain Buduran, Waru, Karang Bong, Candi, Watutulis, Balong Bendo, dan Gedek. Masih merujuk kepada artikel tadi, ada tak kurang dari 55 pabrik gula di seantero Jawa pada 1860-an. Ini semua menjadikan Hindia Belanda sebagai runner-up produsen terbesar gula di Dunia, tepat di bawah Kuba selaku sang juaranya.
Berlimpahnya duit dari perkebunan tebu dan industri gula mengundang ketertarikan para pengusaha swasta Belanda untuk terjun ke bisnis ini. Pemerintah Kolonial Belanda memberinya jalan dengan kebijakan ekonomi liberal sejak 1870. Puncak kejayaan industri gula di Jawa berlangsung sekitar 1900-1930. Sebelum terjadinya Krisis Ekonomi Global Malaise alias The Great Depression pada 1930, Jawa merupakan pulau berisikan 164 pabrik gula dan mampu memproduksi gula sebanyak 2,9 juta per tahunnya. Dari jumlah 164 pabrik gula tadi, 19 ada di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, 13 ada di wilayah Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, 17 ada di Karesidenan Pekalongan, 6 ada di Karesidenan Banyumas, dan 5 ada di Karesidenan Madiun. Demikian antara lain hasil perunutan merujuk buku-buku antara lain Suikerkultuur: Jogja yang Hilang (Hermanu, 2019), Djogja Solo Beeld van Vorstenlanden (MP van Bruggen & RS Wassing, 1998), Madiun dalam Kemelut Sejarah (Ong Hok Ham, 2018), dan Peristiwa Tiga Daerah (Anton E Lucas, 1989). Sebagian besar dari ratusan pabrik gula di Jawa itu berhenti beroperasi sejak 1930. Malaise menjadi sumber hantaman besar pertama ini. Efeknya terbilang awet terasa hingga sepanjang dasawarsa itu. Beberapa pabrik gula menyiasatinya dengan melakukan konversi usaha. Ada yang berganti wajah menjadi penggilingan beras, ada pula yang menyulap diri jadi pabrik karung. Pada 1940-an, Masa Pendudukan Jepang dan Perang Revolusi Kemerdekaan menyusul menyusul memberi hantaman secara berturut-turut. Semasa Jepang, sejumlah pabrik gula yang mangkrak lalu dipreteli dan diratakan oleh otoritas militer pendudukan. Semasa Perang Revolusi Kemerdekaan, sejumlah pabrik gula jadi korban taktik bumi hangus militer Indonesia yang tak ingin pabrik-pabrik itu dikuasai dan digunakan pihak Belanda. Pada 1950-an, pabrik-pabrik yang masih sanggup bertahan maupun dipertahankan lantas terjerat rintangan maupun limbung oleh pukulan keras lainnya. Stabilitas keamanan dalam negeri Indonesia sepanjang dekade itu masih terus diusik oleh sejumlah pemberontakan bersenjata. Pemerintah Indonesia di tingkat pusat dan daerah pada tahun-tahun awal kemerdekaan banyak terpapar oleh ide-ide sosialisme serta anti kolonialisme, yang tak jarang mewujud sebagai tindakan-tindakan ultra nasionalisme dan xenofobia. Imbasnya adalah kebijakan perekonomian yang tak sepenuhnya ramah kepada kenyamanan berbisnis, terlebih bisnis yang pengelolaannya oleh pengusaha berkebangsaan asing, dengan modal yang berkaitan pula dengan investor dari luar negeri. Alhasil, gigit jari dan urung dirilah beberapa pengusaha asal Belanda dan Eropa lainnya tatkala mereka sempat berniat membuka serta mengoperasikan kembali perkebunan dan pabrik mereka, seperti sebelum Perang Dunia II maupun sebelum Malaise. Rencana para pengusaha maupun pemodal asing tadi untuk kembali berbisnis di Indonesia tercegal oleh aneka syarat memberatkan, entah berasal dari pihak pemerintah, masyarakat sekitar, partai-partai politik, juga serikat buruh dan kelompok petani. Aneka syarat tadi membuat para pebisnis menjadi ragu usaha meraka akan punya profit yang memadai. Sejumlah perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula milik pengusaha Belanda yang dapat bertahan beroperasi pada 1950-an, lalu terkena dampak meledaknya permusuhan Indonesia dan Belanda pada sekitar tiga perempat dari dekade tersebut. Ini tak lepas dari sikap Belanda yang bersikeras menolak memberikan wilayah Irian Barat kepada Indonesia. Kemarahan pihak Indonesia kepada pihak Belanda diwujudkan dengan melakukan nasionalisai atas berbagai bisnis Belana di Indonesia. Pabrik-pabrik gula berikut perkebunan tebunya tak terkecuali dari terkena dampak. Di tangan pihak Indonesia, pengelolaan pabrik-pabrik hasil nasionalisasi tadi lantas dipercayakan kepada sejumlah perusahaan perkebunan yang dibentuk. Perusahaan-perusahaan itu berikut pabrik-pabrik dan perkebunannya segera saja terjerat inefiensi karena isi manajemennya bukan lagi sepenuhnya dari kalangan profesional penekun bisnis agrikultur sebagaimana sebelum nasionalisasi. Perusahaan perkebunan itu pun juga lantas terkooptasi persaingan pengaruh oleh berbagai kelompok, yakni partai politik, serikat buruh, juga militer. Pada medio 1960-an, lingkungan perusahaan perkebunan semacam ini termasuk yang banyak merasakan pembersihan dari pihak-pihak yang dianggap tidak Pancasilais. Memasuki zaman Orde Baru yang terentang 1966-1998, Pemerintah Indonesia sempat memiliki cita-cita untuk memulihkan kejayaan industri gula, mengulang apa apa yang pernah dicapai pada zaman Hindia Belanda. Salah satu langkahnya adalah penerapan program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) sejak medio 1970-an. Namun, peningkatan produksi pabrik-pabrik gula yang diupayakan TRI tetaplah masih jauh dari level pencapaian kejayaan Industri Gula sebelum 1930-an. Pabrik-pabrik gula warisan era Kolonial kian lama kian banyak berhenti beroperasi. Pemerintah Indonesia dari hari ke hari makin suka menambal selisih antara produksi gula domestik dan kebutuhan tinggi memakai jurus impor. Posisi terhormat sebagai eksportir gula nomor dua terbesar sedunia, seperti sekitar akhir abad XIX hingga awal abad XX, rupanya memang sudah sepenuhnya masa lalu. (Yosef Kelik/Periset di Museum Ullen Sentalu)
1 Comment
|
Archives
November 2024
Categories |