Bagaimana ini bisa terjadi?
Semuanya berkat Badan Ruang Angkasa Amerika Serikat atau NASA yang menjalankan proyek besar berupa peluncuran wahana antariksa kembar , Voyager I dan Voyager II. Dua wahana tadi secara berturut-turut diluncukan pada Agustus 1977 , dengan misi awal berupa pengamatan atas planet-planet luar tata surya, seperti Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Misi lanjutan Voyager setelahnya adalah menjelajah sampai ke Heliopause, batas di mana pengaruh Matahari berakhir dan ruang antar bintang dimulai. Voyager I dan Voyager II bergerak di luar angkasa dalam laju 15-17 kilometer per detik. Masing-masing dari wahana kembar itu dilengkapi dengan sebuah piringan tembaga berlapis emas berdiameter 12 inci. Piringan ini mampu bertahan sampai setengah miliar tahun, sebuah produk terawet yang pernah diciptakan manusia. Isinya suara-suara dan gambar-gambar yang mewakili keragaman penghidupan dan kebudayaan Bumi. Itu diharapkan dapat ditemukan dan diidentifikasi oleh makhluk-makhluk luar angkasa manapun yang menemukannya. Sedikit rincian isi piringan 12 inci Voyager mulai dari ucapan salam dalam 60 bahas. “Selamat malam hadirin sekalian. Selamat berpisah, dan sampai bertemu lagi di lain waktu” menjadi salam yang mewakili bahasa Indonesia . Ada pula 115 gambar dan foto. Gambar penari Bali hasil pemotretan oleh Donna Grosvenor mewakili wajah Indonesia. Lalu, ada lagi rekaman musik berdurasi satu setengah jam dari berbagai kebudayaan. Memang ada 26 komposisi musik dari berbagai negara yang dikumpulkan. Gendhing Ketawang Puspawarna dari Jawa, Indonesia, termasuk satu di antaranya. Sosok yang memilih Gendhing Ketawang Puspawarna untuk diikutsertakan dalam Misi Voyager NASA adalah Prof. Robert E. Brown. Ia adalah pakar musik sekaligus guru besar Wesleyan University. Mengapa Prof. Robert E. Brown memilih Gendhing Ketawang Puspawarna untuk misi Voyager? Beliau memilih Gending Ketawang Puspawarna dikarenakan keindahan dan komposisi gending, juga karena tak terlampau panjang, hanya berdurasi 4:43 menit. Sistem nada slendro-nya sekaligus diharapkan bermanfaat menjadikan pendengarnya dapat membandingkannya dengan komposisi-komposisi lain dalam piringan. Semua yang mendengar akan segera tahu bahwa sistem nada di Jawa berbeda, bahwa musik dunia memiliki kekayaan sistem nada yang luar biasa. Gendhing Ketawang Puspawarna ini direkam oleh Prof. Robert E. Brown pada akhir tahun 1960-an dalam rangka siaran radio perayaan ulang tahun Pangeran Adipati Paku Alam VIII, dimainkan oleh gamelan istana Paku Alaman, Yogyakarta, yang diarahkan oleh KRT Wasitodipuro (sekarang KPH Notoprojo). Gendhing Ketawang Puspawarna ini biasanya dibunyikan sebagai tanda kedatangan pangeran maupun untuk mengiringi tarian. Gendhing ini memiliki lirik mengenai berbagai jenis bunga yang melambangkan beragam suasana, rasa, atau nuansa. Konon, lirik dan melodi dalam Ketawang Puspawarna dipersembahkan oleh penciptanya, Pangeran Adipati Mangkunegara IV (1853 – 1881) untuk mengenang istri dan selirnya. *Sebelumnya pernah diunggah di blog.ullensentalu.com pada 14 September 2016 Sumber pustaka: Putu Fajar Arcana. Brown Pilih “Ketawang Puspawarna”. Kompas Minggu, 21 Agustus 2005 www.wikipedia.org
1 Comment
|
Archives
November 2024
Categories |