Menariknya, profesi inyo berbeda dengan golongan abdi dalem keraton lainnya dalam hal proses pengangkatannya. Darsiti Soeratman dalam Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 (1989:69), menjelaskan bahwa atas perkenan raja, seorang inyo bisa langsung diangkat sebagai priyayi dengan pangkat kliwon atau bupati anom, dimungkinkan untuk memintas tanpa melalui prosedur biasa seperti jalur suwita ataupun magang.
Seorang Inyo umumnya dipilih dari kerabat atau keluarga raja yang baru melahirkan. Mereka juga bertugas menjadi ibu susu putra atau putri raja dengan batasan waktu, sekitar 10 bulan. Aturan ini dibuat raja Mataram Islam dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya penerapan hukum Islam yang memuat larangan perkawinan antar saudara sepersusuan (palihan). Untuk itu, seorang inyo dipilih dengan seleksi yang ketat. Selain hubungan keluarga, pemilihan inyo juga harus didukung faktor kesehatan. Ully Hermono dalam Gusti Noeroel, Mengejar Kebahagiaan (2014:52-53) menjelaskan bahwa pemilihan inyo di lingkungan Kadipaten Mangkunegaran pada awal abad XX telah memanfaatkan teknologi kedokteran moderen. Pasalnya ada tahapan pemeriksaan oleh dokter istana sehingga dipastikan mempunyai kualitas ASI (Air Susu Ibu) yang baik. Oleh karena itu, ketika seorang telah dipilih menjadi inyo, mereka harus menjalani pola hidup sehat. Seorang inyo umumnya akan mendapatkan jaminan makanan yang bergizi dari raja atau pangeran yang memercayaan penyusuan anaknya. Ini adalah suatu keistimewaan yang dapata membuat orang lain iri. Dalam sejarah Mataram Islam, inyo umumnya diangkat sebelum putra/putri raja lahir. Roswita Pamoetjak Singgih dalam Partini, Recollections a Mangkunagaran Princess (1990) menjelaskan bahwa Raden Mas Suparto (kelak menjadi Kanjeng Gusti Adipati Aryo Mangkunegara VII) mempersiapkan inyo bagi putri sulungnya, B.R.A. Partini jauh sebelum sang putri lahir. Hal ini serupa dialami saudara-saudaranya, tak terkecuali G.R.Ay. Noeroel yang lahir dari permaisuri, G.K.R. Timoer Mursudariyah. Hermono (2014) menjelaskan bahwa sebelum Gusti Nurul lahir, sang ayah K.G.P.A.A Mangkunegara VII sudah mengumumkan untuk mencari seorang inyo. Pengumuman ditujukan pada para kerabat yang tengah menyusui bayinya sehingga sebagian dari mereka langsung mendaftarkan diri. Menariknya, dari sekian banyak pelamar, ternyata yang dianggap pantas menyusui Gusti Nurul justru seorang wanita desa. Meski dari desa, ia dianggap berhati mulia karena tidak pernah menuntut materi pada keluarga Mangkunegaran. Kondisi istimewa seperti di atas juga pernah terjadi di Keraton Surakarta. Soeratman (1989:90), menjelaskan bahwa Susuhunan Pakubuwana IX tidak mengambil inyo dari orang pinggir. Calon Susuhunan Pakubuwana X ketika masih bayi disusui oleh seorang piyantun dalem (selir) bernama Raden Ayu Dayapurnama. Dengan demikian, putri piyantun dalem tersebut, yaitu Raden Ajeng Saplirin dianggap sebagai palihan Susuhunan Pakubuwana X. Pola serupa juga dilakukan Susuhunan Pakubuwana X pada putrinya dari permaisuri G.K.R. Mas, yaitu Putri Pembayun. Susuhunan Pakubuwono X memilih wanita dari Kampung Sewu sebagai inyo bagi sang putri. Oleh karena itu, anak inyo ini menjadi palihan untuk sang putri. Namun, menjadi seorang inyo tidak mudah. Meski berhak menikmati fasilitas seperti rumah, gaji besar, perhiasan, dan jaminan makanan; seorang inyo harus tinggal di keraton. Mereka dilarang keluar keraton, meski ada kabar kurang enak tentang keluarganya. Aturan ini konon diterapkan karena pertemuan seorang inyo dengan keluarga dianggap akan mempengaruhi produksi ASI-nya. Kondisi inilah yang kadang membuat sebagian inyo tidak betah. Mereka ingin keluar keraton karena kerinduan pada anak yang terpaksa mengalah dengan minum susu dari botol ataupun ingin keluar karena hanya ingin bertemu dengan keluarganya (Hermono, 2014). Meski ada tekanan di atas, beberapa inyo yang sangat bangga dengan profesinya. Selain memperoleh status priyayi, pengabdiannya sebagai inyo juga dianggap akan mempererat hubungan kekerabatan mereka dengan raja. Sebagai contoh, hubungan Gusti Nurul dengan saudara sepersusuannya yang masih terjalin baik hingga ia dewasa. Setiap kali lebaran, Gusti Nurul masih sempat untuk memberikan hadiah kepada saudaranya itu. Hal ini dilakukan Gusti Nurul karena sang inyo dikenal orang yang baik hati dan sang ibu G.K.R Timoer sangat menyayanginya. Apalagi semasa sang inyo masih hidup, ia juga selalu datang ke Pura Mangkunegaran meski hanya untuk bersilaturahmi (Hermono, 2014). Dengan demikian, profesi inyo bukanlah sesuatu yang tabu dalam kehidupan kerajaan Mataram Islam. Hermono (2014) menjelaskan bahwa model inyo sudah menjadi kebiasaan di kalangan bangsawan, mungkin jauh sebelum era Mataram Islam. Dalam hal ini, semua putra atau putri raja mendapatkan ASI bukan dari ibunya, tetapi dari ibu-ibu susu yang disebut inyo. Alasannya istri raja, khususnya ratu memiliki tugas yang cukup berat. Di satu sisi, seorang ratu bertugas membantu kelancaran tugas-tugas raja. Di sisi lain, ia harus memberi pelayanan yang sempurna kepada suami seperti memikirkan dan menyiapkan menu makanan, menyediakan pakaian atau busana raja, merawat pusaka-pusaka milik kerajaan, dan menyiapkan upacara rutin lengkap dengan sesajinya. Dengan demikian, keberadaan seorang inyo terbukti meringankan tugas istri raja, terutama berperan penting dalam mengasuh dan mendidik putra atau putri raja. Setelah inyo purna tugas, tanggung jawab ini dilanjutkan oleh abdi dalem keraton, yang disebut mbok emban. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu).
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
December 2024
Categories |