Sejauh ini referensi tentang grebeg hanya dijumpai dalam karya sastra berbentuk Babad. Referensi lain yang relatif lengkap baru muncul sekitar abad XX Masehi. Sebagai contohnya: R.M. Soedarisman dalam Moela Boekaning Wonten Garebeg (1941), Darsiti Soeratman dalam Kehidupan Kraton Surakarta 1830-1939 (1989), dan B. Soelarto dalam Garebeg di Kasultanan Yogyakarta (1993). Dari ketiga sumber setidaknya diketahui bahwa grebeg awalnya muncul karena tradisi slametan yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Grebeg konon berkembang dari konsep Pasadran Agung era Kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, grebeg digunakan sebagai media dakwah agama Islam oleh para wali (Wali Sanga).
Diantara ketiga grebeg, Grebeg Mulud diyakini muncul paling awal, yaitu sejak berdirinya Kerajaan Demak (abad XV Masehi). Sementara Grebeg Syawal dan Grebeg Besar baru muncul sejak era pemerintahan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam. Pada saat upacara grebeg, kraton akan mengeluarkan sejumlah gunungan atau pareden. Itu adalah sejumlah hasil bumi maupun makanan yang disusun menyelimuti suatu kerangka tinggi yang dimaksudkan sebagai bentuk sedekah dari raja. Jumlah gunungan yang dikeluarkan pihak kraton pada masing-masing-masing upacara grebeg berbeda-beda. Pada Grebeg Mulud ada 6-7 gunungan. Pada Grebeg Sawal hanya ada satu gunungan. Pada Grebeg Besar ada 5 gunungan. Gunungan-gunungan yang dikeluarkan kraton pada saat grebeg akan diarak ke Masjid Gede Kauman di sisi barat Alun-alun Utara. Di situ gunungan-gunungan grebeg akan didoakan sebelum akhirnya akan diperebutkan rakyat yang berkumpul. Ini karena orang Jawa secara turun-temuran percaya bahwa apa yang mereka dapatkan dari gunungan bakal memberi tuah baik bagi kehidupan. Ramainya orang berebut hasil bumi atau makanan dari gunungan grebeg direkam dan dikenang oleh orang Jawa melalui keberadaan kata gerebek, yang kemudian terserap ke dalam bahasa Indonesia. Gerebek tatkala menjadi kosakata bahasa Jawa dan bahasa Indonesia kurang lebih mengandung makna “beramai-ramai mengepung dan menyerbu”. (Restu A Rahayuningsih, Divisi Riset Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
April 2024
Categories |