Ayah Mas Garendi terbunuh karena konflik internal di Kraton Kartasura. Mas Garendi dan pamannya yang bernama Wiramenggala melarikan diri dari Kartasura dan lolos pula dari pengejaran pasukan Mataram. Mereka lalu ditampung oleh sekelompok orang Tionghoa di Grobogan.
Geger Pecinan Geger Pecinan di Batavia 1740, yakni pembantaian orang-orang Tionghoa pada 10 Oktober tahun itu yang berbalik menjadi pemberontakan perlawanan mereka kepada otoritas VOC Belanda, lalu sangat berpengaruh kepada jalan hidup Mas Garendi. Sejak sekitar November 1740, ada gelombang eksodus besar orang-orang Tionghoa dari Batavia, termasuk sebagai bagian konsolidasi perlawanan mereka kepada pihak VOC. Orang-orang Tionghoa kemudian memasuki wilayah teritori Mataram Islam. Di berbagai kota di Pesisir Utara yang memiliki komunitas Tionghoa dan bahkan berbupati orang Tionghoa lantas pecah perlawanan kepada pihak VOC. Pada akhir 1740 hingga pertengahan 1741, perlawanan demikian tercatat terjadi di Lasem, Pati, Demak, Juwana, Cirebon, Tegal, dan Kaliwungu. Awalnya kehadiran orang-orang Tionghoa tadi di dalam teritori Mataram, termasuk aksi mereka memerangi VOC di kota-kota Pesisir Utara Jawa, adalah sesuatu yang disambut baik oleh raja Mataram Islam kala itu, Susuhunan Pakubuwana II. Sang raja bahkan mengajak orang-orang Tionghoa yang eksodus dari Batavia untuk membangun persekutuan. Pakubuwana II melakukannya dengan bayangan bahwa persekutuan dengan orang-orang Tionghoa dapat membantunya mengusir VOC Belanda keluar dari negeri Mataram. Persekutuan pihak Mataram dan kelompok perlawanan terbilang resmi terjadi pada Agustus 1741. Operasi militer bersama persekutuan tadi adalah pengepungan benteng VOC di Kartasura serta pengepungan kota Semarang. Namun, pada sejak sekitar November 1741, persekutuan Mataram dan pemberontak Tionghoa sangat terimbas oleh dua hasil buruk dalam peperangan melawan VOC. Pertama adalah kegagalan pengepungan Semarang. Kedua adalah kemajuan signifikan yang diperoleh Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura dan sekutu utama VOC dalam peperangan, berupa penguasaannya atas berbagai daerah mulai dari Gresik hingga Tuban. Karena itu, Pakubuwana II pada awal Desember 1741 lalu memilih mengakhiri koalisinya dengan pihak pemberontak Tionghoa. Ibu Pakubuwana II memang sedari awal kurang mendukung pilihan putranya untuk memerangi pihak VOC dan bersekutu dengan kelompol perlawanan Tionghoa. Ibu Pakubuwana II selalu mendesak putranya untuk berekonsiliasi dengan pihak VOC. Konsolidasi di Grobogan Sekalipun secara resmi Pakubuwana II telah mengakhiri persekutuan dengan kelompok Tionghoa dan bahkan mengusahakan perbaikan hubungan dengan pihak VOC, ternyata ada Patih Notokusumo, Bupati Martopuro, Bupati Mangunoneng, serta sejumlah pejabat tinggi Mataram lainnya secara diam-diam maupun terbuka tetap bekerja sama dengan orang-orang Tionghoa guna memerangi VOC. Kubu koalisi Tionghoa dan Jawa yang masih tersisa lantas berkonsolidasi di daerah Grobogan hingga Juni 1742. Mereka juga memertahankan penguasaan atas daerah-daerah penghasil beras serta kayu di Kudus, Pati, Jepara. Kurang lebih beriringan, ada juga pecah pemberontakan terhadap Pakubuwana II di daerah-daerah lain seperti Kedu. Antara Maret hingga Mei 1742, ada beberapa upaya kubu Pakubuwana II untuk menyerang kedudukan koalisi perlawanan Tionghoa dan Jawa di Grobogan. Namun, serangan-serangan tersebut masih dapat dipukul mundur. Di tengah situasi demikian, para pemberontak Tionghoa dan sisa pejabat Mataram yang masih mendukung mereka lantas menobatkan Mas Garendi sebagai raja Mataram dengan gelar Susuhunan Amangkurat V. Dengan kata lain, Mas Garendi alias Amangkurat V dijadikan tandingan bagi Pakubuwana II sang petahana pemilik takhta. Penobatan atas Amangkurat V tepatnya terjadi pada 6 April 1742 di suatu tempat di Pati. Melalui penobatan Mas Garendi menjadi Amangkurat V ini, kelompok perlawanan Tionghoa dan para pejabat Mataram yang masih bersekutu dengan mereka menunjukkan niat untuk menggulingkan Pakubuwana II dari takhta Mataram. Pada Juni 1742, kurang lebih beriringan dengan penangkapan Patih Notokusumo oleh pihak VOC di Semarang, koalisi Tionghoa-Jawa bergerak keluar dari daerah Grobogan dan melakukan ofensif dengan target utama Kartasura sebagai ibukota Mataram Islam. Koalisi Tionghoa-Jawa meraih kemajuan signifikan di daerah Salatiga dan Ambarawa. Pada 29 Juni, pasukan koalisi Tionghoa-Jawa telah mencapai Banyudono yang tinggal berjarak sekitar lima kilometer dari Kraton Kartasura. Pada 30 Juni, pasukan koalisi Tionghoa-Jawa telah menyerbu Kartasura hingga merangsek ke dalam kraton. Pakubuwana II dipaksa lari meninggalkan istananya, Dikawal Kapten Hohendorff dari kubu VOC, Pakubuwana II melakukan gerak pelarian melalui Gunung Lawu guna mencari perlindungan ke daerah Madiun. Ia lantas menjadikan Ponorogo sebagai tempatnya menghimpun kembali kekuatan. Pada 1 Juli 1742, Amangkurat V mulai bertakhta di Kraton Kartasura yang telah berhasil direbut koalisi Tionghoa-Jawa. Raja berusia remaja ini bertakhta di Kartasura hingga akhir November 1742. Selama ia bertakhta di Kartasura, pasukan koalisi Tionghoa-Jawa terlibat peperangan di berbagai tempat di Jawa Bagian Tengah serta Jawa Bagian Timur Sisi Barat. Musuh yang dihadapi oleh koalisi Tionghoa-Jawa ada tiga sekaligus: pasukan loyalis Pakubuwana II, pasukan Cakraningrat IV dari Madura, juga pasukan dari pihak VOC. Ganti yang Terusir Meski sebenarnya ada persaingan dilandasi saling benci pada kubu Pakubuwana II dan Cakraningrat IV, koalisi Tionghoa-Jawa tak bisa membendung serangan gabungan dari tiga arah oleh para lawannya. Pada 26 November, Amangkurat V ganti yang terusir dari istana Kartasura. Kratonnya diduduki para pengikut Cakraningrat IV. Amangkurat V dan pasukan koalisi Tionghoa-Jawa awalnya menyusun pertahanan di Randulawang, dekat Candi Prambanan. Namun, terdesak oleh musuh, Amangkurat V dan pengikutnya lantas membuat gerakan melambung lewat Keduwang untuk lanjut ke Madiun serta daerah-daerah di Jawa Timur. Tujuan mereka adalah menemukan kelompok Raden Arya Wiranegara, cucu Untung Surapati, yang berkedudukan di Kediri. Penggabungan di antara mereka terjadi pada September 1743. Sayangnya, selepas suatu pertempuran dalam gerilya di sekitar selatan Surabaya, Amangkurat V dan pengikutnya terpisah dari induk pasukan Tionghoa pimpinan Kapitan Sepanjang. Terdesak oleh pengejaran pasukan musuh, Amangkurat V dan sekitar 300 pengikutnya akhirnya memilih menyerah kepada VOC si Surabaya. Ditahan beberapa lama di Loji VOC di kota bandar itu, Amangkurat V kemudian diputuskan VOC untuk dibawa ke Batavia via Semarang. Vonis akhirnya, pria yang juga dikenal sebagai Sunan Kuning itu dihukum buang ke Ceylon atau Srilangka sampai meninggalnya. Catatan sejarah pihak Dinasti Mataram Islam tak mengakui adanya raja bernama Amangkurat V. Bangsawan Jawa yang gagal memenangkan perang perebutan takhta tersebut dalam catatan kraton-kraton Mataram Islam lebih sering disebut memakai nama mudanya, Mas Garendi, atau juga dengan julukannya Sunan Kuning. Sebutan Sunan Kuning konon memiliki dua versi asal-usul. Pertama karena ia adalah raja yang diangkat suatu koalisi yang berisikan para pemberontak Tionghoa berkulit kuning. Kedua karena kulit Amangkurat V memang konon kuning atau lebih resik dari orang Jawa umumnya. (YOSEF KELIK/PERISET DI MUSEUM ULLEN SENTALU) REFERENSI Daradjadi. (2013). Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC. Jakarta: KOMPAS
1 Comment
|
Archives
April 2024
Categories |