1. Pakubuwana
Gelar nama ini bersumber dari bahasa Jawa dan tepatnya merupakan gabungan dari dua kata: paku dan buwana. Paku adalah paku, sedangkan buwana berarti dunia. Dengan demikian, Pakubuwana berarti “paku bagi dunia”. Makna tersebut sekaligus mengandung arti tambahan bahwa sang pengguna gelar adalah poros pancang pemberi kestabilan bagi jagad seisinya. Pihak perdana pengguna gelar nama Pakubuwana di antara para raja Mataram Islam adalah raja ketujuh. Sebelum naik takhta ia dikenal dengan nama Pangeran Puger. Ia ini adalah putra Amangkurat I, adik Amangkurat II, paman sekaligus mertua dari Amangkurat III, juga ayah dari Amangkurat IV. Masa bertakhta Pakubuwana I ini berada di antara atau menyelingi masa bertakhta Amangkurat III dan Amangkurat IV. Gelar nama Pakubuwana juga digunakan oleh raja terakhir yang memerintah Mataram Islam ketika masih utuh sebagai satu kerajaan, yakni Susuhunan Pakubuwana II. Raja ini merupakan putra Amangkurat IV serta cucu dari Pakubuwana I. Masa bertakhtanya berisikan naik-turun yang sama-sama tajam. Ia mengalami keterusiran dari istana dan ibukota Kartasura karena terdepak oleh serangan kelompok pemberontak Tionghoa, hingga ia harus mengungsi ke Ponorogo. Namun, atas titahnyalah ibukota serta istana baru Surakarta dibangun. Masa pemerintahannya juga diyakini sebagai tahun-tahun ketika Babad Tanah Jawa sebagai kronik resmi Dinasti Mataram Islam akhirnya tertuntaskan penulisannya. Pakubuwana II wafat pada 1749 ketika negeri yang dipimpinnya tengah diharu-birukan oleh perang saudara. Adik beda ibu dari Pakubuwuna II, Pangeran Mangkubumi, yang pernah menjadi kepercayaan sang raja hingga menjadi pemimpin proyek pembangunan ibukota baru Surakarta, angkat senjata karena kecewa berat kepada sang kakak oleh dua hal. Pertama karena sang kakak meneken traktat konsesi yang terlalu menguntungkan pihak VOC Belanda sekaligus merugikan negara Mataram. Kedua karena Pakubuwana II membatalkan penghadiahan tanah Sukawati yang semula dijanjikan sebagai imbalan jika Pangeran Mangkubumi sanggup menjinakkan gerakan pemberontakan Raden Mas Said. Pasca wafatnya Pakubuwana II, putra mahkota sang mendiang raja dan Pangeran Mangkubumi saling berebut menjadi raja Mataram selanjutnya. Antara 1749-1755, keponakan dan paman tersebut sama-sama mengklaim sebagai Susuhunan Pakubuwana III. VOC selaku pihak yang menerima penyerahan kedaulatan negara Mataram dari Pakubuwana II tak lama sebelum raja tersebut wafat, akhirnya bisa menengahi konflik perebutan takhta. Pihak Pangeran Mangkubumi dan pihak Putra Mahkota Pakubuwana II sama-sama beroleh separo wilayah dan separo jumlah penduduk negara Mataram. Sejak Palihan Nagari pada 1755 melalui Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Jatisari itu, klaim Putra Mahkota Pakubuwana II sebagai pemilik gelar Susuhunan Pakubuwana III tak lagi digugat oleh Pangeran Mangkubumi. Pakubuwana III lantas meraja dengan meneruskan penggunaan ibukota dan istana di Surakarta. Negeri yang dipimpinnya pun disebut Kasunanan Surakarta. Pasca era Pakubuwana III, gelar nama utama Susuhunan Pakubuwana tetap diteruskan oleh para raja Surakarta hingga kini. Sejak 2004, penyandang gelar Pakubuwana adalah Susuhunan Pakubuwana XIII yang sebelum naik takhta bernama Pangeran Hangabehi, anak laki-laki tertua Susuhunan Pakubuwana XII. 2. Hamengkubuwana Gelar nama ini bersumber dari bahasa Jawa dan tepatnya merupakan gabungan dari dua kata: hamengku atau mangku dan buwana. Hamengku berarti memangku, sedangkan buwana berarti dunia. Dengan demikian, Hamengkubuwana berarti “ia yang memangku dunia”. Gelar nama itu muncul ketika Mataram Islam sudah mengalami disintegrasi dan terpecah menjadi dua bagian, yakni Surakarta serta Yogyakarta. Pengguna perdana gelar nama ini adalah pendiri sekaligus raja pertama Kasultanan Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi. Sultan Hamengkubuwana I demikian ia lazim dicatat dan disebut sejak menggunakan gelar tersebut pada 1755. Sebagai konsekuensi dari Perjanjian Giyanti pembelahan negara Mataram Islam, Pangeran Mangkubumi tak bisa lagi mengklaim penggunaan gelar nama Susuhunan Pakubuwana III yang harus ia relakan untuk digunakan oleh keponakannya, raja di Kasunanan Surakarta. Pilihan sang pendiri Kasultanan Yogyakarta kepada gelar nama Hamengkubuwana menarik untuk ditafsir serta ditebak-tebak. Bagian hamengku sebagai bagian depan gelar nama utamanya mengingatkan kepada unsur kata mangku dalam gelar nama ayahnya selaku raja, yakni Sususuhunan Amangkurat IV. Unsur buwana dalam bagian belakang gelar namanya juga mengingatkan kepada unsur kata yang sama pada bagian gelar Pakubuwana yang digunakan kakek serta kakaknya. Dengan demikian, gelar nama Hamengkubuwana menyiratkan bahwa penyandangnya memiliki keterkaitan sekaligus merupakan penerus dari para raja Mataram Islam bergelar nama Amangkurat maupun Pakubuwana. Hal semacam ini dapat kita bandingkan dengan hal terjadi semasa Jawa masih berada dalam hegemoni Hindu-Buddha, tepatnya pada 1293 ketika Majapahit berdiri. Raja pertama Majapahit, Dyah Wijaya, ternyata memilih abhiseka atau bergelar nama Kertarajasa Jayawardhana, yang menggabungkan gelar nama dua pendahulunya dalam Wangsa Rajasa, yaitu Sri Rajasa sang pendiri wangsa, juga Kertanegara yang adalah paman sekaligus mertuanya. Pasca era Hamengkubuwana I, gelar nama utama Hamengkubuwana tetap digunakan oleh para raja Kasultanan Yogyakarta penerusnya. Pemegang kiwari dari gelar nama Hamengkubuwana adalah Sultan Hamengkubuwana X yang bertakhta sejak 1989. Semasa pangeran, anak laki-laki tertua Sultan Hamengkubuwana IX ini bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Harya Haji Mangkubumi. Semasa kanak-kanak hingga sebelum menikah, nama yang disandangnya adalah Bendara Raden Mas Herjuno Darpito. (Yosef Kelik-Departemen Riset Museum Ullen Sentalu)
1 Comment
Ario Kevin
17/4/2024 11:12:40 am
Sangat informatif
Reply
Leave a Reply. |
Archives
December 2024
Categories |