Namun, jauh sebelum semua ini ada serta menggeliat, Yogyakarta pernah men jadi sesuatu yang sedikit sekali tilas-jejaknya untuk dapat dikenali oleh orang - orang zaman sekarang. Sekitar seabad lebih sepanjang masa Kolonial dan sebelum datangnya Jepang, Yogyakarta justru adalah salah satu wilayah pusat perkebunan di Pulau Jawa.
Mula-mula adalah pusat perkebunan nila atau indigo, yakni tanaman sumber pewarna pakaian sebelum maraknya pewarna sintesis yang dihasilkan industri kimia. Tahun-tahun ketika Jogja menjadi wilayah yang punya banyak perkebunan indigo berlangsung sekitar tiga dekade di medio abad XIX. Itu adalah dari sekitar setelah Perang Jawa alias Perang Diponegoro hingga sekitar 1860-an. Setelah itu, terpicu oleh menurunnya harga indigo di pasaran internasional, maka ada 10 perkebunan indigo yang lantas mengubah peruntukan lahan dan pabriknya menjadi untuk tebu serta produksi gula. Daftar 10 perkebunan tebu dan pabrik gula bekas perkebunan indigo yakni Barongan, Klatji, Tjebongan, Padokan, Rewoelu, Sedajoe, Randoegoenting, Gesikan, Poendong, Sewoegaloer. Selain itu, ada pula 9 perkebunan tebu dan pabrik gula yang memang sedari awal membudidayakan tebu dan memproduksi gula. Mereka terdiri dari Tandjong Tirto, Beran, Medarie, Gondanglipoero, Bantool, Kedaton-Plered, Demakidjo,Wonotjatoer, Sedayoe dan Sendangpitoe. Jadi, total Yogyakarta lantas memiliki 19 perkebunan tebu berikut pabrik gulanya. Hal demikian berlangsung mulai dari awal 1860-an sampai dengan sekitar 1930-an, atau meliputu masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VI, Sultan Hamengkubuwana VII, dan Sultan Hamengkubuwana VIII sampai dengan . Sekaligus menjadikan Yogyakarta terbilang wilayah di Jawa yang paling rapat kepemilikan pabrik gulanya. Pasalnya, Surakarta sebagai wilayah tetangga hanya memiliki 16 pabrik gula, padahal luasan wilayahnnya melebihi Yogyakarta. Gondanglipoero tercatat sebagai pabrik gula pertama yang beroperasi di Yogyakarta. Tepatnya mulai beroperasi pada 1862. Sebaliknya Sendangpitoe menjadi pabrik gula yang beroperasi paling belakang. Tercatat baru beroperasi 1922. Kejayaan pabrik-pabrik gula di Yogyakarta surut sejak 1929. Krisis ekonomi global 1929 – 1939 adalah pukulan awal yang membikin limbung. Dengan membuat sekian perombakan dalam manajemen mereka, hanya 8 pabrik gula yang sanggup terus berproduksi: Tandjong Tirto, Tjebongan, Medarie, Gondang lieporo, Padokan, Gesikan, Bantool, dan Pundong. Selebihnya berhenti beroperasi atau menyiasati dengan beralih peruntukan usaha, semisal berubah menjadi pabrik penggilingan beras. Pada masa pendudukan Jepang, beberapa pabrik gula dipreteli alat produksinya oleh pihak militer untuk kepentingan perang. Nantinya setelah masuk periode Perang Revolusi Kemerdekaan, khususnya Agresi Militer II, umumnya bangunan pabrik-pabrik gula, baik yang masih beroperasi maupun non aktif, dibumihanguskan tentara dan pejuang Indonesia. Itu dimaksudkan untuk mencegah bangunan-bangunan besar itu dimanfaatkan oleh pihak militer Belanda. Inilah penyebab mengapa 19 pabrik gula di Yogyakarta itu bisa dibilang minim sekali tilasnya saat ini. (Yosef Kelik, Periset di Museum Ullen Sentalu) Referensi: Hermanu, dkk. Suikerkultuur: Jogja yang Hilang. Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta, 2019 Soemardjan, Selo. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Depok: Komunitas Bambu, Cetakan II 2009
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
October 2023
Categories |