Kalangan rakyat kebanyakan alias yang berstatus sosial rendah hanya dapat merasakan bangku sekolah yang cuma setara sekolah dasar saat ini. Belanda berpandangan orang-orang dari golongan kebanyakan itu cukup menguasai kemampuan baca-tulis-hitung yang sifatnya sekadarnya. Pokoknya asalkan mencukupi untuk menjalankan tugas-tugas tingkatan pegawai rendahan di perusahaan-perusahan milik Belanda.
Persekolahan yang dikerangkai sebagai suatu sistem pendidikan boleh dibilang dihadirkan Pihak Kolonial di Hindia Belanda pada medio abad XIX. Itu pun awalnya hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki saja. Golongan etnis yang dapat memerolehnya ya Kaum Kulit Putih. Akses tak benar-benar leluasa bagi Bumiputra untuk bersekolah sebatas dinikmati oleh mereka yang menganut agama Kristen, antara lain dengan pembukaan sekolah di kantong-kantong etnis penganut Kristen dan menyerap westernisasi, contohnya ya di Minahasa dan Ambon. Demikianlah antara lain gambaran embrio sistem pendidikan via sekolah di Indonesia jika merujuk pemaparan buku Menjadi Indonesia tulisan Parakitri Simbolon. Lagi-lagi dengan merujuk uraian dalam Menjadi Indonesia, butuh sekitar dua dekade sampai akhirnya akses terhadap persekolahan dimungkinkan untuk dinikmati juga oleh kaum perempuan. Ingat bahwa pembatasan akses terhadap persekolahan ala Barat pada awal kehadirannya di Indonesia tidak sekadar menjegal perempuan Bumiputera, tapi juga perempuan berdarah Eropa. Dengan kata pada 1850-an hingga 1870-an, para perempuan dari semua golongan etnis belum dimungkinkan oleh kebijakan negara untuk mengakses sekolah. Akses perempuan terhadap persekolahan moderen baru bisa dinikmati sejak 1876, melalui pembukaan suatu sekolah khusus perempuan di Batavia. Itu merupakan sekaligus buah tuntutan gerakan emansipasi hak-hak perempuan di Belanda. Staatblad 51 yang dikeluarkan 1877 juga membuka sekolah untuk perempuan di kota-kota dan daerah-daerah lain. Pada 1882, suatu sekolah menengah (HBS) untuk perempuan menyusul dibuka di Batavia. Lama masa belajarnya adalah tiga tahun. Akan tetapi gadis-gadis di luar Jakarta tetap sulit memasuki sekolah karena keengganan orangtua mengizinkan anak gadisnya pergi meninggalkan rumah. Meski begitu, tetap ada kemajuan dalam pendidikan dan akses terhadap sekolah bagi kaum perempuan. Pasalnya pada 1891, para gadis telah diperbolehkan masuk ke HBS yang semula hanya dikhususkan bagi para siswa pria. Angin baik pada akhir abad XIX tentang akses persekolahan bagi kaum perempuan tadi nyatanya baru dapat dinikmati oleh kaum perempuan berdarah Eropa. Bagi para perempuan Jawa dan Bumiputra selebihnya, akses terhadap persekolahan moderen baru akan dinikmati ketika tahun-tahun telah memasuki abad XX alias tahun 1900-an. Hingga memasuki abad XX pun, budaya Jawa masih sangat kaku dan masih kurang ramah terhadap ikhtiar aktualisasi diri kaum perempuan. Adat masih sangat mengungkung kaum wanita. Sistem dalam masyarakat masih menekankan wanita selalu berada dibawah laki-laki. Di masa lalu wanita selalu dipandang rendah dan dianggap sebagai sosok yang halus dan lemah lembut karena ukuran fisik lelaki dianggap lebih unggul. Selain itu dengan peran biologis wanita yang melahirkan anak, membuat pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Laki-laki menjadi penyedia kebutuhan hidup dan pelindung keluarga sehingga harus mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Akan tetapi wanita harus mau dipaksa keadaan dengan menikah sejak usia muda, melahirkan, berdiam di rumah untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak sehingga tidak perlu turut campur untuk urusan luar rumah. (Nuri, Edukator Museum Ullen Sentalu) Referensi: Nasution, S.. 2011. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta. PT Bumi Aksara. Simbolon, Parakitri. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta. PT KOMPAS Media Nusantara. Wulandari, Triana. 2017. Perempuan dalam Gerakan kebangsaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
November 2024
Categories |