Selain gajah, kuda juga populer sebagai kendaraan raja. Dengan rancangan yang sedemikian rupa, kuda didesain untuk menarik kereta atau kemudian disebut kereta kuda. Pada masa Jawa Kuna, kendaraan ini tidak hanya untuk mobilitas sehari-hari raja tetapi juga untuk berperang. Contohnya dalam Prasasti Pucangan (1041) disebutkan bahwa Raja Airlangga menghancurkan (musuh) di atas kereta perang dengan kemasyhuran ketika berperang. Namun dalam iring-iringan rombongan kerajaan, kereta kuda tidak hanya digunakan raja. Sejarawan Slamet Mulyana dalam Tafsir Sejarah Negarakrtagama (2006) menyebutkan bahwa iring-iringan rombongan raja dimulai dari pedati di depan dan belakang rombongan, prajurit keraton yang berjalan kaki di bagian tengah, dilanjutkan oleh kereta mentri patih amangkubumi, kereta keluarga raja (Bhre Pajang, Lasem, Daha, dan Jiwana), dan kereta Raja Hayam Wuruk (Sri Nata Wilwatikta). Unsur pembeda kereta raja dengan kereta patih atau keluarga raja terlihat dari prajurit pengiring Janggala Kediri, panglarang, dan sedah bhayangkari yang mengelilingi kereta raja dengan naik gajah dan kuda.
Hadirnya kendaraan pedati atau gerobak yang disebutkan di atas mengindikasi moda transportasi ini masih merupakan bagian kehidupan istana. Menariknya, gerobak pada masa itu bukan ditarik sapi, tetapi ditarik oleh kerbau karena sapi dianggap kendaraan dewa. Berdasarkan Prasasti Wurandungan (948), moda transportasi ini bukan digunakan untuk membawa manusia tetapi hanya digunakan untuk mengangkut barang-barang perdagangan. Oleh karena para pedagang di masa Jawa Kuna umumnya memelihara kerbau cukup banyak, bahkan sampai 20 ekor. (BERSAMBUNG)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2024
Categories |