Berkaitan dengan pendidikan dalam keluarga, salah satu tokoh yang mungkin bisa menjadi panutan adalah Sultan Hamengkubuwono VIII. Pada masa pemerintahannya, kekayaan Kraton Yogyakarta dimanfaatkan untuk mendorong kemajuan pendidikan dan perbaikan kesehatan. Seperti ayahnya, Sultan Hamengkubuwono VIII juga mengharuskan putra-putrinya untuk menempuh pendidikan formal setinggi mungkin, bahkan bila perlu hingga ke Negeri Belanda. Sultan juga menerapkan banyak terobosan dalam lingkungan keluarga, bahkan jauh sebelum menjadi raja. Salah satunya dengan “menitipkan” anak-anaknya di luar lingkungan keraton.
Langkah Sultan Hamengkubuwono VIII di atas didasarkan pada pedoman dirinya bahwa “wong sing kalingan suka, ilang prayitane”, yang artinya orang yang sudah merasakan nikmat, akan kehilangan kewaspadaannya. Langkah ini mungkin dilatarbelakangi pola asuh putra/putri kraton yang umumnya hanya diserahkan pada mbok emban atau abdi dalem perempuan yang bertugas mengasuh, mengajar, dan mendampingi putra/putri sultan. Apalagi sejak sang ayah bertakhta, posisi raja harus tunduk pada ketentuan Gubernemen terkait beberapa hal seperti keamanan, infrastruktur, dan agraria. Bahkan pada saat itu, pemerintah kolonial mempunyai kekuasaan untuk mengatur keuangan kraton. Dengan demikian, langkah ini dipilih Sultan Hamengkubuwono VIII untuk mempersiapkan calon penerus takhta yang memahami watak kolonial Belanda. Perubahan pola asuh di lingkungan keluarga Kraton Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono VIII salah satunya terekam dalam buku berjudul Takhta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX karya Mohamad Roem dkk. (2013). Dalam buku tersebut diceritakan kisah hidup GRM Dorojatun (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono IX) yang sejak umur 4 tahun sudah dititipkan ke keluarga kepala sekolah Belanda bernama Mulder di Gondomanan, tanpa inang atau pengasuh. Sejak saat itu, pangeran kecil dituntut untuk hidup mandiri dan merasakan hidup sebagaimana masyarakat pada umumnya. Setelah lulus taman kanak-kanak di Gondomanan, ia berpindah ke Jalan Pakem untuk melanjutkan pendidikan dasar, ke Semarang dan Bandung untuk melanjutkan pendidikan menengah, serta merampungkan pendidikannya di Belanda. Perjalanan hidup GRM Dorojatun di atas menjelaskan bahwa sejak usia 4 – 20an tahun, ia tidak tinggal di dalam tembok kraton ataupun dilayani abdi dalem. Lebih jauh lagi, Mutiah Amini dalam Anomali Pola Asuh: Kraton Yogyakarta . 1921-2939 (2016) juga menyebutkan bahwa Sultan Hamengkubuwono VIII juga memberikan keleluasaan kepada para abdi dalem untuk menempuh pendidikan di lembaga pendidikan formal. Bahkan Sultan menerbitkan surat keleluasaan abdi dalem yang tidak bisa seba/caos karena sedang menempuh pendidikan di Hollands-Inlandseschool (Senarai Kekancingan No. 348). Hal ini menunjukkan dukungan Sultan terhadap dunia pendidikan bagi seluruh warga kraton. Langkah Sultan Hamengkubuwono VIII di atas pada akhirnya membuat dunia kraton tampak semakin terbuka. Wawasan dan cara pendidikan dari Sultan Hamengkubuwono VIII yang jauh ke depan juga terlihat dari kualitas putra-putranya pada waktu menghadapi perubahan jaman ke depan yang luar biasa. Salah satunya terlihat dari kepribadian GRM Dorojatun, yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono IX. Ia dikenal sebagai sultan yang berjiwa nasionalis, bahkan prinsip hidupnya “takhta untuk rakyat”. Sultan Hamengkubuwono VIII mengajarkan keteladanan untuk hidup mandiri dan sederhana sebagaimana masyarakat umum seperti yang ia rasakan saat sekolah di Belanda. Ia juga membangun niat dengan mendidik putra-putrinya dengan pola asuh tanpa sanjungan atau keistimewaan. Ia bahkan memberikan semangat putra-putrinya untuk menyelami watak kolonial Belanda agar tidak mudah dimanfaatkan. Nilai-nilai menggambarkan betapa pentingnya keluarga dalam pendidikan karakter anak. Restu A Rahayuningsih (Peneliti Museum Ullen Sentalu)
1 Comment
Leave a Reply. |
Archives
November 2024
Categories |