Salah satu kebijakan Politik Etis adalah program edukasi atau perluasan bidang pengajaran dan pendidikan. Program ini diwujudkan melalui pendirian sekolah-sekolah dari jenjang pendidikan dasar (Europeesch Lagere School atau ELS, Hollandsch Inlandsche School atau HIS, dan Hollandsch Chineesche School atau HCS), pendidikan menengah (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO, Algemeene Middelbare School atau AMS, dan Hoogere Burgerschool atau HBS) hingga pendidikan tinggi (School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen atau STOVIA). Sistem pendidikan pun dirancang dalam bentuk pendidikan umum dan pendidikan kejuruan sehingga kaum pribumi diharapkan lebih maju dan terdidik.
Namun, dalam dunia pendidikan era kolonial, Politik Etis tidak serta merta memberi keleluasaan akses bagi kaum Bumiputera. Nyatanya melalui penerapan kuota etnisitas dan strata sosial siswa, Bumiputera tetap dihambat untuk mengakses sekolah berpengantar bahasa Belanda yang secara mutu lebih baik. Triana Wulandari dalam Perempuan dalam Gerakan kebangsaan (2017) mengatakan hanya golongan ningrat dan bangsawan saja yang dapat mengenyam sarana pendidikan yang relatif setara dengan Kaum Eropa. Sementara rakyat pribumi dengan kondisi ekonomi rendah hanya mampu mengenyam pendidikan dasar, bahkan tidak bersekolah. Jenis sekolah yang mereka pilih pun adalah Sekolah Rakyat atau Schakel School. Selain ketimpangan akibat status sosial dan kondisi ekonomi, permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan pembatasan gender. Dalam hal ini pendidikan pribumi awalnya hanya diperuntukan bagi anak laki-laki, sedangkan anak perempuan masih terkungkung dalam sistem feodalisme di Jawa. Mereka dianggap kurang mumpuni dibanding anak laki-laki, baik dari segi fisik maupun kemampuannya. Jangan salah kira, hambatan kaum perempuan dahulu dalam hal mengakses pendidikan sekolah tak cuma dihadapi orang kebanyakan.Kaum bangsawan putri pun mengalaminya. Ketimbang menyekolahkan, orangtua para bangsawan putri itu lebih tertarik melakukan tradisi kolot memingit anak gadis mereka sampai kemudian ada pelamar yang datang hendak menikahi. Namun, pada akhir abad XIX dan awal abad XX itu tetap ada para bangsawan progresif yang berani berinisiatif memberi akses pendidikan sekolah kepada putrinya, tak cuma kepada putranya. Tiga nama bangsawan tinggi Jawa yang berpemikiran maju menurut zamannya itu adalah: KGPAA Pakualam V, Adipati Pakualaman 1878-1900; RMAA Sosroningrat, Bupati Jepara 1881-1905; KGPAA Mangkunegara VII, Adipati Mangkunegaran 1916-1944. KGPAA Pakualam V memberi kesempatan adil kepada semua anaknya untuk mengejar pendidikan moderen via sekolah. Ia bahkan mengizinkan putrinya, Raden Ajeng Mirjam, melanjutkan pendidikan hingga negeri Belanda. Tersohornya Raden Ajeng Kartini sebagai putri Jawa yang sanggup melakukan korespondensi bermutu lagi cerdas dengan orang-orang Belanda tak lepas dari kedekatannya dengan sang ayah, Bupati Sosroningrat dari Jepara. Kartini tidak hanya memikirkan keterbatasan kaum wanita di tengah budaya Jawa saat itu. Ia juga dikenal sebagai tokoh feminisme awal di Indonesia. Melalui surat yang ia tulis kepada sahabatnya di Belanda, ia berharap semua wanita pribumi memiliki kebebasan untuk menuntut ilmu dan berpendidikan sebagaimana dirinya. Kartini sendiri tercatat pernah bersekolah di ELS tahun 1885, sebelum kemudian menjalani pingitan tahun 1891 untuk kemudian dinikahkan dengan bupati Rembang. Meski telah menikah, Kartini tetap giat membaca buku, koran dan majalah. Ia tetap aktif memperjuangkan hak-hak wanita hingga akhir hayatnya. Para saudari Kartini yakni Roekmini. Kardinar, dan Soematri diberi pula kesempatan bersekolah Bupati Sosroningrat. BRAy Partini Djajadiningrat adalah putri sulung dari Adipati Mangkunegara VII dari Kadipaten Mangkunegaran. Setelah lulus dari Eerste Europeesche Lagere School, Partini kemudian melanjutkan pendidikan kebudayaan dan sastra Jawa di rumahnya, Istana Mangkunegara Surakarta. Melalui pendidikan bahasa Belanda yang diajarkan sang ayah sejak kecil, Partini tumbuh menjadi seorang novelis. Karyanya menjadi pelopor kesusasteraan wanita di Indonesia. Salah satu karyanya bahkan telah diterbitkan di Belanda, yaitu novel berjudul Widyawati. Keberhasilan didikan Adipati Mangkunegaran VII terlihat pada putri kesayangannya, GRAy Nurul Kusumawardhani. Selain mendapatkan pendidikan bahasa sebagaimana Partini, Gusti Nurul juga belajar ketrampilan berkuda dan olahraga panahan. Ia dikenal karena kepandaiannya dalam menyeimbangkan pendidikan akademik dan pendidikan budaya. Di luar aktivitasnya di sekolah ELS dan MULO, Gusti Nurul tetap belajar ketrampilan wanita kraton seperti membatik dan menari Jawa. Ia bahkan pernah menarikan tari Serimpi Sari Tunggal dihadapan Ratu Wilhelmina di Istana Noordeinde. Berkat prestasinya tersebut, ia dianugerahi gelar “de Bloom van Mangkunegaran” atau “Bunga dari Mangkunegaran”. Ia pun dikenal sebagai sosok puteri yang dengan tegas melawan poligami yang menjadi bagian sistem feodal Jawa saat itu. (Noorini, Edukator Museum Ullen Sentalu) Referensi: Triana Wulandari. Perempuan dalam Gerakan kebangsaan. (2017) S. Nasution. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta. PT Bumi Aksara, (2011) Sudibyo. “Paku Alam V: Sang Aristo Modernis dari Timur” dalam Jurnal Paramita Vol 25 Mo1 – Januari 2015 halaman 118-134.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
November 2024
Categories |