Tiga uraian dari versi daring kamus Merriam-Webster tentang entri “myth” tadi rasanya paling mampu memerinci varian makna dari “mitos”. Penjelasan kamus bahasa Inggris tersebut terasa lebih komprehensif ketimbang apa yang dipaparkan Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun Kamus Istilah Arkeologi-Cagar Budaya.
Jika tiga definisi tadi coba dirangkum, maka mitos dapat ditafsirkan sebagai suatu maupun himpunan kisah tradisional yang dipercaya, sekalipun tidak benar-benar memiliki fakta ilmiah, dengan penuturan secara hiperbola maupun eufemistis tentang peristiwa-peristiwa ajaib dan tokoh-tokoh linuwih, entah perihal kesucian, kemampuan adikrodati, bahkan hingga status setara dewa. Baik peristiwa maupun tokoh dalam mitos dapat sepenuhnya imajiner, tapi dapat pula berbaur dengan kenyataan. Ada banyak ragam mitos dalam budaya Jawa, seperti berupa gugon tuhon, tafsir mimpi, dongeng, legenda, hingga sirikan alias pemali yakni hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Di Jawa, mitos sering bersifat suci atau sakral dan hanya dijumpai dalam dunia imajiner, bukan dalam dunia nyata. Banyak mitos di Jawa menunjuk dan menjelaskan sebab-akibat dari suatu peristiwa penting. Itu terkadang merupakan bagian dari tradisi yang mengungkap asal-usul tempat atau suatu kosmis tertentu. Mitos tidak bersifat teratur, bahkan si empunya menceritakan kembali dengan sesuka hati. Mitos dapat bermula dari milik individu atau segelintir orang, yang lalu berkembang menjadi milik masyarakat secara luas. Contohnya adalah kisah tentang tokoh Ki Ageng Sela yang dianggap sakti dan dipercaya pernah menangkap petir. Alhasil, bagi banyak orang Jawa ada kebiasaan turun temurun untuk mengucap “Gandhrik putune Ki Ageng Sela”, sebagai bentuk artinya berlindung kepada Ki Ageng Sela, ketika ada halilintar menyambar. Lalu, ada mitos untuk tidak menunjuk-nunjuk makam ketika melewati daerah tersebut demi menghindari terjadinya kemalangan. Ketika sudah terlanjur menunjuk, maka harus mengulum jari yang sudah digunakan. Ada juga mitos untuk tidak meludahi sumur, agar bibir tidak sumbing. Mitos ini tentunya dikembangkan untuk menjaga kebersihan dan mutu air dalam sumur. Jika dirunut-runut, maka mitos berkaitan dengan upaya menciptakan suatu keteraturan perilaku dan keseragaman pola pikir dalam suatu masyarakat. Prasasti-prasasti kerajaan-kerajaan kuno Hindu-Buddha di Jawa dan Sumatera pun banyak memuat serangkaian mitos berupa pamali. Dengan ancaman serangkaian kutukan yang terkesan menyeramkan, orang-orang dilarang merusak prasasti maupun daerah yang disebut di dalamnya. Orang-orang dengan kriteria tertentu semacam pemungut pajak atau pedagang penjaja salah satu komoditi juga dilarang masuk ke dalam daerah yang tersebutkan oleh prasasti. Semua itu sejatinya merupakan mekanisme mengatur lalu lintas orang, barang, hingga besaran pungutan pajak di suatu daerah. Mitos berikut kutukan yang menyertainya digunakan untuk menggantikan perlunya mengerahkan petugas penjaga. (Cahyaningrum/Konservator dan Edukator Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |