Berbagai jenis bunga yang dijadikan uborampe memiliki makna filosofis tersendiri. Menurut Setyo Hajar Dewantoro dalam buku Sastrajendra Ilmu Kesempurnaan Jiwa (2018), kanthil, melati, kenanga, mawar, dan telon, ialah lima di antara bunga yang terbilang sering dipakai sebagai uborampe. Mari kita telisik masing-masing tafsir makna di balik penggunaan masing-masing bunga tadi.
Bunga kanthil dimaknai sebagai simbol pepeling atau pengingat bahwa “ngelmu iku kelakone kanthi laku” yang artinya ilmu spiritual itu hanya bisa diraih dengan laku atau usaha terus-menerus. Usaha tersebut bisa muncul lewat penghayatan terhadap nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang disebut mempraktikkan lakutama atau laku yang utama. Dalam pernikahan Jawa, bunga kanthil juga dimaknai sebagai lambang adanya tali rasa yang tansah kumanthil atau senantiasa melekat dan tak pernah putus. Hal ini merupakan harapan bahwa kelak pengantin dapat menjalani hidup dengan kasih sayang yang mendalam dan tidak akan terputus (langgeng). Bunga melati dimaknai sebagai simbol petuah bahwa setiap orang hendaknya melibatkan hati ketika melakukan segala hal. “Melati” sendiri ditafsirkan sebagai bakronim dari kata-kata “melad saka njero ati” atau “keluar dari lubuk hati”. Maksudnya, seseorang hendaknya berucap dan bertindak, sesuai kata hati sehingga ucapan dan tindakan yang dilakukan harapannya tidak akan mengecewakan atau melukai hati orang lain. Bunga kenanga dimaknai sebagai sebagai simbol ikhtiar menggapai hal luhur. Tepatnya generasi penerus diharapkan mencontoh perilaku baik generasi pendahulunya dan meneruskan capaian leluhur semasa hidupnya. Kenanga kadang juga ditafsirkan sebagai bakronim dari kenangen ing angga yang artinya “kenanglah dalam dirimu”. Dalam hal ini, orang diharapkan mengenang semua warisan leluhur baik berupa tradisi, kesenian, kebudayaan, filsafat, ataupun ilmu spiritual yang banyak mengandung nilai kebijaksanaan. Dengan mengenang kebaikan para pendahulu, harapannya kita selamat di dunia dan akhirat. Diantara berbagai jenis bunga, mawar merupakan bunga yang paling populer dalam masyarakat. Bunga ini diterjemahkan sebagai bakronim atas kata-kata “mawi arsa” atau “dengan kehendak atau niat”. Bunga ini hadir sebagai simbol niat kuat seseorang ketika melakukan segala sesuatu. Bunga mawar kadang juga dimaknai sebagai bakronim atas “awar-awar ben tawar” yang artinya “buatlah hatimu menjadi tawar atau tulus”. Pemaknaan ini berkaitan dengan pedoman hidup orang Jawa bahwa dalam menjalani segala sesuatu haruslah dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih. Warna merah dari bunga mawar menggambarkan proses kelahiran manusia atau dumadine jalma manungsa sehingga mawar merah sering dikaitkan dengan sosok “ibu” yang dianggap tempat jiwa-raga kita diukir. Dalam bancakan weton (selamatan hari kelahiran), ibu juga dilambangkan dengan bubur merah. Sementara mawar putih sering dikaitkan dengan sosok “bapak”. Perpaduan raga dan cinta kasih antara bapa dan ibu diwujudkan dalam bentuk bubur merah dan putih yang disilangkan, ditumpuk atau dijejer. Perpaduan ini diharapkan menghasilkan bibit manusia unggul. Istilah Bapa Langit dan Ibu Bumi juga melambangkan keharmonisan bumi pertiwi dan langit, agar tanah air dan putra-putrinya hidup gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem kerta raharja. Bunga terakhir yang dibahas dalam artikel ini adalah bunga telon. Kata “telon” diartikan sebagai tiga kesempurnaan dan kemuliaan hidup alias “tri tunggal jaya sampurna”, yang dalam masyarakat Jawa diumpamakan sebagai sugih banda, sugih ngelmu dan sugih kuasa. Bunga ini bukanlah sebuah nama untuk satu jenis bunga, tetapi susunan bunga yang terdiri dari bunga mawar, melati dan kantil yang diikat menjadi satu. Ketiga bunga ini merupakan bunga inti yang harus ada dalam uborampe. (Veronica Anjar)
1 Comment
|
Archives
May 2024
Categories |