Sependek pengamatan tentang peringatan Hari Ibu, khususnya sekitar sedekade terakhir, kecenderungnya ialah dimeriahkan dengan beraneka cara pemberian hadiah bagi sosok ibu dalam keluarga alias nyonya rumah tangga. Ada juga beberapa keluarga yang kemudian menjadikan hari peringatan tadi sebagai momen rehatnya sang nyonya rumah, sedangkan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang biasa diampunya, antara lain memasak serta bebersih-bebenah lantas diambil alih sementara suami maupun anak. Hal semacam ini untuk masa sekarang bahkan sudah begitu sering dijadikan bahan konten untuk unggahan di media sosial.
Momen peringatan Hari Ibu juga sudah bukan aneh lagi dimanfaatkan banyak pihak untuk menjalankan program kehumasan maupun pemasaran. Pariwara oleh para politikus yang hendak mengincar atau tengah menduduki kursi legislatif maupun eksekutif adalah contohnya. Tiada ketinggalan pula aneka promo mulai dari diskon belanja hingga cek kesehatan bagi para ibu. Memang hal-hal yang dikisahkan serta dicontohkan di atas itu bukan sesuatu yang salah. Namun, gaya perayaan Hari Ibu di Indonesia akhir-akhir ini—yang agaknya condong kepada meniru perayaan Mother’s Day ala Amerika Serikat sejak awal abad XX sejatinya tak sepenuhnya tepat. Kita perlu mengingat kembali bahwa penetapan Hari Ibu ialah oleh Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959. Penetapan itu antara lain dimaksudkan untuk memeringati pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia I pada 1928. Satu hal yang penting pula diingat, Ibu dalam konteks Indonesia bukan hanya untuk menyebut seorang wanita yang telah melahirkan anak. Contohnya dalam kaidah tata bahasa Jawa, kata “Ibu” dapat digunakan untuk menyebut orang yang dituakan atau dihormati. Oleh karena itu, peringatan hari Ibu di Indonesia bukanlah perayaan Mother’s Day yang dikenal orang-orang Barat. Organisasi-organisasi kaum perempuan telah terbentuk di Indonesia sedari sekitar tiga dasawarsa sebelum penetapan resmi Hari Ibu oleh Bung Karno. Pada 22 Desember 1953 atau tepat 5 tahun sebelum pengharinasionalan Hari Ibu pun, organisasi-organisasi perempuan di Indonesia kala itu menghelat perayaan meriah 25 tahun Kongres Perempuan I. Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPNB DIY) via penerbitan buku Kongres Perempuan, Cikal Bakal Hari Ibu pada 2019 menyebutkan bahwa Kongres Perempuan I berlangsung 22-25 Desember 1928 di Ndalem Joyodipuran, Yogyakarta. Kongres tersebut dihadiri lebih dari 100 perempuan yang berasal dari organisasi-organisasi perempuan di Indonesia. Mereka membahas posisi dan hak perempuan dalam perkawinan, penolakan terhadap poligami, pendidikan perempuan, perhatian terhadap janda dan anak yatim, dan perlunya pembentukan semacam badan bersama yang memayungi semua organisasi perempuan. Enam Butir Kesepakatan Meski diwarnai perdebatan, tetapi Kongres Perempuan Indonesia I berhasil merumuskan keputusan penting. Ada enam butir kesepakatan yang sebenarnya mewakili apa yang diinginkan oleh kaum perempuan pada masa itu. Pertama, “kami sepakat membina Perikatan Perempuan Indonesia.” Apabila dilihat dalam konteks tahun 1928, anggapan “tempat perempuan ya di belakang.” Anggapan tersebut masih kental sehingga posisi perempuan dipandang sebelah mata dan mereka dinilai tidak perlu berserikat, berkumpul, berkongres, berdiskusi, dan sebagainya. Oleh karena itu, butir pertama kesepakatan Kongres Perempuan Indonesia I sebenarnya merupakan bentuk melawan stereotipe dan tradisi yang memunggungi perempuan. Kedua, “menggalang beasiswa untuk perempuan.” Hal ini dilatarbelakangi kondisi anak perempuan tahun 1928, yang memang jarang didahulukan dalam urusan sekolah. Hingga 1915, dari 261.055 murid sekolah desa di Jawa dan Madura, siswa perempuannya hanya ada 7,67% saja. Bahkan sampai tahun 1928, rasionya tidak banyak berubah. Oleh karena itu, dengan adanya beasiswa diharapkan akan menambah jumlah anak-anak perempuan terpelajar. Ketiga, “memperkuat pandu putri.” Gerakan pandu dalam konteks tahun 1928 identik dengan semangat kebangsaan. Perempuan juga memiliki hak terlibat dalam pergerakan ini. Mereka pun berprinsip bahwa “apapun pakaian kami (perempuan) itu bukanlah hambatan”. Hal ini menunjukkan bahwa kaum perempuan kala itu memiliki kesadaran akan keberagaman Indonesia dan pentingnya persatuan untuk memperjuangkan posisi dan hak perempuan. Dari sinilah lahir badan federasi Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Keempat, “mencegah perkawinan anak.” Dalam konteks tahun 1928, lazim terjadi perkawinan pada usia anak-anak (0-17 tahun). Hal ini sangat merugikan anak atau secara umum merugikan perempuan dan calon anaknya. Bahkan jarak usia perempuan yang terpaut jauh dengan suaminya bisa saja melahirkan hubungan perkawinan yang tidak adil karena tidak jarang istri dianggap pelayan oleh suami. Kelima, “mosi pada pemerintah soal perlindungan perempuan, janda, dan yatim, serta ketersediaan sekolah perempuan.” Penggunaan istilah “janda” di sini dimunculkan jelas sebagai antitesis atas stigma negatif masyarakat tentang janda. Stigma tersebut bahkan terkadang berimbas pada perlakuan dan cap buruk dari masyarakat atas status mereka. Oleh karena itu, janda juga memiliki hak untuk dilindungi. Keenam, “mosi ke majelis agama agar taklik (janji nikah, berikut syarat cerai) dikuatkan dengan surat.” Hal ini menegaskan bahwa dalam konteks tahun 1928, posisi perempuan dalam pernikahan dinilai lemah karena hanya bisa menerima. Inilah alasan utama terjadinya perceraian dan poligami. Dengan adanya surat resmi, setidaknya kaum perempuan (dalam hal ini istri) dilibatkan dan didengar pendapatnya ketika suami mengajukan perceraian atau ingin berpoligami. Keenam kesepakatan di atas menegaskan bahwa Kongres Perempuan Indonesia sebenarnya terkait dengan perjuangan kaum perempuan untuk memperbaiki nasib mereka dan perannya dalam perjuangan kemerdekaan. Oleh karena itu, peringatan hari Ibu seharusnya menjadi momentum bagi perempuan Indonesia untuk melanjutkan eksistensi mereka bagi pembangunan bangsa. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |