Masyarakat Indonesia kiwari memang antusiastik mengunggah konten-konten ketika sedang menggunakan kain dalam perpaduan pakaiannya. Itu mulai dari video yang berupa referensi mix and match kain, sampai sekadar memamerkan OOTD (outfit of the day) mereka ketika menggunakan kain. Tidak jarang berkain juga menjadi sebuah dresscode dari acara-acara formal yang diadakan suatu lembaga maupun perkumpulan, khususnya yang mengusung tema kebudayaan, bahkan sampai juga ke acara kecil-kecilan.
Bahkan tidak sedikit selebriti tanah air yang juga turut mengikuti gerakan berkain dengan bangga. Maudy Ayunda, Raline Shah, serta Fanny Soegi sang vokalis grup band Soegi Bornean adalah beberapa contoh di antaranya. Dua nama pertama tak jarang mengunggah postingan di akun sosial media pribadi mereka ketika sedang berbusana paduan kain dalam acara-acara besar, termasuk yang bertaraf internasional. Untuk nama terakhir, berkain sudah menjadi semacam ciri khas busananya saat manggung menyanyi. Dari semua itu, terlihat bahwa masyarakat bangga menggunakan kain sebagai perpaduan gaya busana mereka. Mereka bahkan berusaha mencari gaya-gaya yang unik dan menarik dalam mengikuti gerakan berkain. Gaya berkain lazim saat ini biasanya berupa kain atau rok lilit sebagai bawahan. Kain kemudian dipadukan dengan atasan busana-busana modern atau terkini seperti blus, kemeja, atau hanya berupa kaus oblong. Tidak hanya sebagai pakaian bagian bawah, gerakan berkain dalam era modern ini juga telah mengalami transformasi dan adaptasi yang menawarkan berbagai pilihan bentuk. Mulai dari kain yang dimodifikasi menjadi gaun, blus maupun kemeja oversized, pakaian luaran, celana lebar, hingga jumpsuit yang nyaman dan praktis. Merebaknya tren gerakan berkain juga sekaligus mencerminkan suatu arus balik gaya berpakaian ke masa satu abad silam. Kala itu, menggunakan kain adalah pakaian sehari-hari, sedangkan busana-busana bergaya sederhana dan asing adalah mode baru. Hal ini dikarenakan pada awal abad XX, gaya berpakaian yang dianggap tren fesyen lebih didominasi oleh pakaian yang formal dan terstruktur dan bergaya asing. Contohnya adalah pakaian yang terbuat dari bahan semacam sutra, wol, dan nilon. Gaun-gaun panjang dan berlapis-lapis dengan rok yang lebar dan padat menjadi tren yang umum. Gambaran mode berbusana di Jawa pada tengah abad XX dicuplikkan dalam buku berjudul Jawa Tempo Doeloe karya James R. Rush. Tepatnya adalah pada bagian Harold Forster berkisah pengalamannya menjadi dosen bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada pada 1952. Ketika menghadiri acara penerimaan, para mahasiswa baru tampak berpakaian gaya barat. Para pria mengenakan kemeja putih terbuka yang dipadukan dengan celana panjang, sedangkan perempuan mengenakan gaun katun sederhana. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa kain tradisional mulai ditinggalkan pada awal 1950-an. Kaum terpelajar mulai menjadikan pakaian modern gaya barat sebagai mode mereka dalam berbusana. Gaya berpakaian yang kentara menunjukkan pengaruh dari Barat naik daun dengan penilaian positif di kalangan terdidik, menengah ke atas, terlebih lagi kaum muda kian sering tampak mengenakannya dalam acara-acara besar dan formal. Busana-busana ala Barat itu dipandang lekat merepresentasikan modernitas. Gaya berpakaian modern sendiri memang telah cenderung memiliki pilihan warna kaya dan beragam sejak 100 tahun yang lalu. Gaun-gaun seringkali dihiasi dengan bordir, renda, atau sulaman untuk menambahkan detail yang kompleks dan indah. Warna-warna cerah seperti merah, biru, dan emas sering digunakan untuk menunjukkan kekayaan dan keanggunan. Dengan demikian, gerakan berkain yang populer beberapa waktu terakhir adalah semacam arus balik kepada gaya busana sebelum tren busana sebagaimana digambarkan Forster pada 1952, bahkan tolehan terhadap gaya berbusananya bisa saja sampai kepada mode sekitar 100 tahun silam. Yang dimaksud di sini adalah tatkala penggunaan kain menjadi mode pakaian lazim di mana-mana, juga bisa ditemukan sebagai pakaian untuk acara-acara formal maupun menjadi pakaian sehari-hari. Di sisi lain, pada masa itu, busana modern masih merupakan mode pakaian yang baru beranjak mulai digemari dan menyebar. Di luar soal arus balik atau tolehan kepada gaya berpakaian lama, hadirnya gerakan berkain juga dapat menjadi tempat kita belajar dan melestarikan keragaman jenis kain tradisional di Nusantara. Bagi masyarakat Jawa, selain batik terdapat jenis kain tradisional lainnya yang dapat digunakan, seperti jumputan, tenun lurik, dan sebagainya. Di daerah luar lingkup masyarakat Jawa pun ada ragam jenis kain tradisionalnya masing masing. Motif yang dimiliki pada tiap jenis kain tradisional juga beragam bentuknya. Keragaman motif sebaiknya tidak hanya dipandang sebagai keindahan, tapi juga dipahami kandungan filosofi serta kesejarahannya Karena itu, tidak ada salahnya kita ketika mengikuti gerakan berkain tetaplah membarenginya dengan mencari tahu atau bahkan menerapkan kaidah-kaidah dasar serta etika penggunaan kain tradisional. (Nasywa Nur Athiyya/Mahasiswa Prodi Ilmu Sejarah FIB UGM, Magang di Museum Ullen Sentalu, September 2023) Referensi: Novi Andika Putri, Asep Achmad Hidayat. 2021. “Budaya Indis Pada kebaya Abad ke-20”. Pada jurnal Historia Madania Vol. 5 No. 1 Kartini Parmono. 1995. “Simbolisme Batik Tradisional”. Pada Jurnal Filsafat no. 23
1 Comment
|
Archives
December 2024
Categories |