Unsur budaya Jawa pada Gapura Gading tetaplah ada. Itu rasanya paling diwakili oleh keberadaan arca bergaya Hindu-Buddha dalam gardu berpilar di kiri-kanan gerbang.
Bagian bando gerbang yang memiliki akses pintu berbentuk busur lengkung juga dihiasi dengan lambang Radya Laksana. Itu merupakan lambang raja dan kerajaan bagi Kasunanan Surakarta yang berupa perpaduan semacam lencana atau perisai bundar lonjong diapit padi dan kapas, juga ditudungi mahkota gaya Jawa. Di dalam lencana atau perisai lonjong ada bentuk bola Bumi ditancapi paku, matahari yang memancarkan sinar, bulan sabit, juga bintang. Keseluruhan lambang Radya Laksana itu memang memvisualisasikan gelar nama dari Susuhunan atau Raja Kasunanan Surakarta, Pakubuwana, yang bisa dimaknai sebagai paku atau poros tertancap kuat dari alam semesta. Radya Laksana diadopsi sebagai lambang resmi Susuhunan serta Kasunana Surakarta sejak masa bertakhtanya Susuhunan Pakubuwana X. Raja yang bertakhta selama 46 tahun mulai dari 1893 hingga 1939 tersebut sekaligus merupakan sosok yang menitahkan pembangunan Gapura Gading dalam gaya art deco. Itu pula lah menjadi alasan mengapa tepat di bagian bawah lambang Radya Laksana Gapura Gading ada ukiran inisial PB X, yang tak lain adalah singkatan gelar dalam alfabet Latin dan angka Romawi dari sang raja pembangunnya. Merujuk isi artikel “Gapura Bersejarah di Kota Solo” yang diunggah 15 September 2022 di surakarta.go.id, web resmi Pemerintah Kota Surakarta, Gapura Gading dibangun pada 1932. Masih di surakarta.go.id, dalam artikel unggahan 24 November 2022 dengan judul “Jejak Peninggalan Sejarah dalam Gapura Kota” disebutkan bahwa Gapura Gading dibuka resmi pada 1938. Di situ diceritakan pula bahwa Gapura Gading punya dua saudara kembar yang memang dibangun secara beriringan tahun, yakni Gapura Klewer di sisi sebelah barat Alun-Alun Lor (Utara) serta Gapura Batangan di sisi sebelah timur alun-alun yang sama. (YOSEF KELIK/Periset di Museum Ullen Sentalu)
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |