Reins Heringa dalam The Historical Background of Batik on Java (1997:32-33) menyebutkan bahwa teknik awal pembuatan batik di Jawa masih bertahan dalam pembuatan kain simbut atau simbue oleh Suku Baduy, Jawa Barat abad XVII. Kain ini dibuat dengan perintang berupa pasta dari beras ketan dan gula, lalu diaplikasikan dengan tongkat bambu atau hanya digambar dengan jari. Kain ini diberi pewarna alami merah atau biru dengan cara menggosokkan ke kain. Kain ini berakar dari zaman neolitik dan dikembangkan penutur bahasa Austronesia.
Model pembuatan batik seperti di atas juga muncul dalam objek serupa yang dijumpai di Tiongkok dan India. Rushyan Ren dalam Batik in China (2019) mengatakan bahwa orang Tionghoa masa Dinasti Tang (618-907) mengenal kain sejenis batik bernama la ran. La ran dibuat menggunakan lilin lebah atau lilin cacing sebagai perintang warna, serta pisau kuningan bentuk setengah lingkaran atau kapak digunakan untuk menyendok lilin tersebut dan ditorehkan pada kain. Sementara, Joanna Barrkman dalam Indian Patola and Trade Cloth Influence on Textiles of the Atoin Meto People of West Timor (2009) mengatakan kain patola dan chintz/sembagi abad XVII di Gujarat, India dibuat dengan perintang lilin lebah atau tepung dan dioleskan ke kain dengan balok cetak kayu atau kuas (pena) dari bambu. Bentuk batik tercanggih di Jawa dijumpai pada abad XVII. Saat itu, batik digambar tangan dengan bantuan wadah lilin kuningan yang kemudian dikenal dengan nama canthing. Penemuan canthing mendorong penciptaan batik dengan beragam motif. Bahkan batik pasisir mulai diproduksi secara komersial di pembatikan milik orang-orang Peranakan Tionghoa, Indo-Eropa, ataupun Keturunan Arab di Pesisir Utara Jawa. Mereka adalah bagian dari perkembangan lebih baru dalam dunia batik. Henk Schulte Nordholt dalam Outward Appearances: Tren, Identitas, Kepentingan (2005) mengatakan bahwa batik pasisir awalnya hanya melayani preferensi strata menengah ke atas di antara penduduk etnis campuran. Namun, setelah peristiwa Java Oorlog atau Perang Jawa (1825-1830) di luar batik kraton yang merupakan pakaian eksklusif keluarga kerajaan dan bangsawan Jawa, orang-orang Belanda menjadikan batik pasisir sebagai pakaian pilihan untuk kaum wanitanya dan pakaian santai bagi kaum prianya. Industri batik pasisir mengalami kejayaan pada tahun 1890-1910 karena batik menjadi busana yang menyebar ke semua kelas sosial. Wanita ningrat Jawa mengenakan kain batik kraton (Vorstenlanden), wanita Indo-Eropa mengenakan batik Indo-Eropa, dan wanita Peranakan Tionghoa mengenakan batik Peranakan Tionghoa. Berbeda dari kalangan ini, pengurus rumah tangga Belanda menggunakan batik cap dan wanita Jawa biasa mengenakan kain batik produksi pabrik (imitasi batik dari Belanda). Untuk itu, bisa dikatakan pada masa transisi abad XIX dan XX, masyarakat Jawa mengenal beragam teknik untuk membatik dan produk batik yang dihasilkan dari setiap teknik membatik akan menentukan status pemakainya. (RESTU A RAHAYUNINGSIH, Periset Museum Ullen Sentalu).
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
October 2023
Categories |