Sebelum itu, ada banyak hambatan bagi perempuan Eropa untuk pergi ke negeri jajahan, salah satunya ya terlalu lamanya perjalanan laut yang mesti ditempuh. Karena itu para laki-laki Eropa menjadikan perempuan pribumi sebagai istri maupun nyai.
Perempuan Jawa yang diperistri oleh laki-laki Eropa bahkan sampai ada yang datang dari kalangan bangsawan tinggi. Satu contohnya adalah Raden Ayu Tjandrakoesoema dari Kasunanan Surakarta. Raden Ayu tersebut pada 1835 menikah dengan pria keturunan Belanda yang berprofesi sebagai pengusaha perkebunan di Boyolali, Johannes Augustinus Dezentje. Perkawinan campuran awalnya dianggap “tabu” karena siapapun pribumi yang akan menikah dengan orang Eropa harus mendapatkan izin dari gubernur jendral. Praktik kawin campur menjadi semakin umum dilakukan pada awal abad XX dan menguatkan hubungan antara Belanda dan Indonesia. Adanya perkawinan orang Belanda-Indonesia melahirkan sebuah akulturasi budaya yang disebut budaya Indis. Perkawinan campuran jelas turut bertanggung jawab atas perkembangan budaya Indis di Indonesia. Jawa dikenal dengan sifat savoir vivre (lapang dada) terhadap budaya yang datang ke wilayahnya membuat perkembangan budaya Indis di Jawa lebih variatif dari wilayah lain. Perkawinan individu yang berujung ke perkawianan budaya memiliki warna dalam kehidupan masyarat di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari bentuk budaya Indis dapat dilihat. Kebaya yang sebenarnya merupakan hibrida budaya Arab, Portugis, India, dan Tionghia yang kemudian digunakan oleh perempuan Jawa, Eropa, dan Tionghoa. Djoko Soekiman dalam bukunya Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi (2014) memuat contoh dari budaya yang muncul akibat kontak Belanda-Indonesia. Bahasa, Pekerjaan, Pendidikan, Seni, Gaya Hidup, Kehidupan rohani, Kuliner hingga Arsitektur adalah bentuk budaya Indis yang muncul di Indonesia. Gaya arsitektur yang memadupadankan Eropa dan Indonesia dikenal dengan gaya asritektur Indische Landhuizen atau Indische Huizen. Gaya bangunan Indis dapat dijumpai pada kompleks perumahan di daerah Kotabaru, Yogyakarta. Bentuk aktualisasi dari budaya Indis juga dapat ditemui pada Esther Huis, sebuah bangunan di Museum Ullen Sentalu yang memajang koleksi tentangbudaya Indis: mebel dari era Kolonial, peralatan saji untuk menikmati teh maupun kopi, juga batik serta kebaya peranakan Indo Eropa maupun peranakan Tionghoa. Bangunan Esther Huis dapat dikunjungi manakala memiliki paket tur Vorstenlanden. (ANUGRAH SATRIO, Mahasiswa Program Studi sejarah, UGM. Magang Museum Ullen Sentalu 2022) Referensi Djoko Soekiman. (2014). Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi. Depok: Komunitas Bambu. Lombard Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka. R.O.G Benedict Anderson. (1969). Mythology and Tolerance of the Javanese. New York: Cornel University. Van Bruggen, M.P dan Wassing, E..A.(1998). Djokja Solo, Beeld van Vorstenlanden. Netherlands: Asia Maior.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
March 2024
Categories |