BIASANYA, pengunjung memasuki Museum Ullen Sentalu melalui gerbang depan dan kemudian dipandu oleh educator tour. Namun pada Sabtu, 5 September 2015, ada para pengunjung yang masuk melalui gerbang belakang untuk kemudian diarahkan ke Pelataran Gandawyuha. Mereka adalah peserta acara ‘Sabtu Sore bersama Lydia Kieven’, seminar yang diadakan atas inisiasi Kepala Museum Ullen Sentalu, Bapak Daniel Haryono.
Dimulai pukul 15:00 dan menghadirkan 2 pembicara diselingi 3 tarian, seminar ini menarik sedikitnya 160 peserta dari berbagai usia dan latar belakang. Dua tarian yang dipentaskan di awal adalah Tari Mozaik Batik oleh anak-anak Sanggar Pawiyatan Ullen Sentalu, lalu disusul Tari Sekar Pudyastuti oleh Fala dan Tasya, dua penari lokal Kaliurang.
Pukul 15.30, Lydia Kieven memulai presentasinya. Wanita dari Jerman yang tertarik pada budaya Jawa ini awalnya meneliti Arjunawiwaha ketika datang ke UGM tahun 1992 sebagai mahasiswa S2. Pada 1996, saat sedang mengunjungi Candi Kendalisada, Lydia untuk pertama kali bersua dengan relief Panji dan kekasihnya, Putri Candrakirana. Sejak itu, ia meneliti tentang kisah Panji sampai menghasilkan buku Menelusuri Figur Bertopi Dalam Relief Candi Zaman Majapahit.
Presentasi Lydia menyajikan banyak gambar relief dari berbagai lokasi candi. Lydia menerangkan tentang Panji dari awal sekali, sehingga memungkinkan bagi peserta yang mungkin sebelumnya belum familiar dengan Panji untuk mengerti. Ia menerangkan bahwa berbeda dengan Ramayana atau sastra berpengaruh India lainnya yang disebut sastra kakawin, Panji termasuk genre sastra kidung, yang asli buatan Indonesia. Unsur-unsur kisah Panji antara lain asmara dalam perpisahan, asmara dalam penyatuan, mencari kekasih, dan menuju ke pengetahuan tinggi. Inti cerita Panji menurut tafsiran Lydia adalah sebagai perantara dunia manusia dengan dewa (simbolisasi arca yang memegang teratai), dan mempersiapkan peziarah untuk ilmu yang lebih tinggi (dari lokasi yang cenderung berada di teras pendopo candi, dibandingkan dengan relief Ramayana yang cenderung ada di bagian dalam).
Selain menyajikan pengetahuan tentang budaya Panji itu sendiri, Lydia juga membeberkan usaha-usaha sejauh ini untuk merevitalisasi budaya Panji, epos asli Indonesia yang ternyata tidak kalah dari Ramayana asal India atau Illiad asal Barat. Tidak hanya dalam relief atau arca, Panji kini juga bisa dibangkitkan kembali lewat wayang topeng, tari-tarian, atau bahkan lomba gambar. Presentasi Lydia ditutup dengan mengekspresikan harapan supaya yang mau menghargai dan terlibat dalam revitalisasi budaya Panji ini tidak hanya beliau yang orang Jerman, tetapi juga orang-orang Indonesia sendiri yang beliau percaya punya potensi lebih tinggi.
Setelah diselingi tari Panji Klana yang dibawakan oleh Kaniri, presentasi kedua dimulai tepat pukul 16.30. Dibawakan oleh Bapak Dwi Cahyono, arkeolog kondang asal Malang, presentasi ini bertajuk ‘Seni Pertunjukan Berproperti Topeng dengan Lakon Panji, Lintas Masa’. Menurut Dwi, topeng di Indonesia sudah mempunyai peranan sejak masa prasejarah, hanya saja kemungkinan baru dipakai untuk keperluan religi. Sementara untuk keperluan seni dan budaya, dari bukti tekstual dan artefak sejauh ini, kemungkinan dimulai sejak zaman Hindu-Buddha. Bukti ini ditemukan di prasasti Himad dan Dinoyo (dari era Pu Sindok), di mana ditemukan tulisan ‘matapukan’, dengan kata dasar ‘tapuk’ yang berarti ‘topeng’. Konteks prasasti tersebut adalah perayaan atas disahkannya Desa Himad sebagai desa perdikan, maka besar kemungkinan topeng tersebut digunakan untuk kepentingan kesenian pertunjukan. Belum diketahui lakon apa yang dimainkan dengan topeng tersebut, tapi dilihat dari penanggalannya, kemungkinan bukan Panji yang baru muncul sekitar abad 14 Masehi.
Di luar prasasti atau relief, topeng dalam konteks kesenian juga ditemukan dalam bentuk arca. Salah satunya adalah arca Bairawa Puja yang ditemukan di Bali. Namun, menurut beliau, sampai sekarang di Jawa belum ditemukan arca penari bertopeng untuk masa Hindu-Buddha.
Presentasi Pak Dwi Cahyono banyak terfokus di Jawa Timur bukan semata karena beliau berasal dari Malang, tapi juga karena Panji adalah lakon yang cukup dominan di wayang topeng Malang. Menurut beliau, lereng Tengger dan Semeru juga termasuk pusat topeng di Malang.
Seperti halnya presentasi Lydia Kieven, presentasi Pak Dwi Cahyono juga disambut dengan sangat baik oleh peserta. Muncul pertanyaan mengenai fungsi topeng di luar properti pertunjukan, dan juga pertanyaan apakah relief tarian dengan cerita Panji berada dalam konteks tradisi besar atau kecil, dan juga konteks ritualnya. Dwi menjawab bahwa menurut kitab Kawruh Jawa, Panji kemungkinan berasal dari tradisi kecil yang kemudian diserap ke dalam tradisi besar. Namun, tidak menutup kemungkinan juga bahwa kedua tradisi itu sebenarnya saling mengembangkan satu sama lain, sehingga sulit untuk menaruh Panji hanya di satu kategori saja.
Setelah sesi diskusi, seluruh rangkaian acara seminar pun berakhir ditutup dengan sesi foto bersama dengan para narasumber. (Widya)