Satu di antara contohnya adalah tuturan Daradjadi tentang bagaimana benteng VOC dikepung gabungan pasukan Tionghoa serta pasukan Mataram tiba di Kartasura pada 1 Agustus 1741. Aksi terhadap benteng Kompeni di ibukota Mataram tersebut dimulai pada hari kedatangan pasukan Tionghoa yang berintikan orang-orang yang eksodus dari Pecinan Batavia sejak tragedi pembantaian, 10 Oktober 1740. Seriusnya koalisi Mataram-Tionghoa pada awal Agustus 1741 juga dapat dilihat dari bagaimana Susuhunan Pakubuwana II pribadi menyatakan dukungan terhadap laskar Tionghoa untuk melawan Kompeni bersama-sama. Pada akhir Agustus, Sunan Pakubuwana II juga memerintahkan Patih Notokusumo memimpin suatu kontingen pasukan Mataram untuk membantu laskar Tionghoa mengepung Semarang.
Semua tadi menggambarkan dengan baik tentang bagaimana Mataram berusaha mengeksploitasi situasi konflik antara VOC dengan komunitas Tionghoa di Jawa. Mataram melihatnya sebagai kesempatan untuk menguatkan posisinya. Melalui hal yang diberikannya kepada pihak Tionghoa, meliputi pemberian perlindungan, pemberian senjata, juga aksi militer bersama, Mataram mencoba peruntungan untuk mengurangi pengaruh dan kekuasaan VOC di wilayah Jawa. Pada sekitar 1741 itu, kentara sekali bahwa Mataram melihat pihak Tionghoa sebagai sekutu penting dalam perlawanan terhadap VOC. Melalui penelitian dan analisis yang cermat, Daradjadi menggambarkan peran Mataram dalam peristiwa Geger Pacinan secara detail. Buku ini memberikan pembaca pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas politik dan hubungan antara komunitas Tionghoa, Mataram, dan VOC pada periode tersebut. Alur penulisan yang maju-mundur sempat membuat bingung pembaca dalam memahami runtutan peristiwa. Pembagian bab pembahasan yang dikelompokkan berdasarkan peristiwa di masing-masing daerah dan pihak juga turut menambah kebingungan dalam memahami urutan dari keseluruhan rangkaian peristiwa. Namun, hal ini terbantu dengan adanya sebuah bagian di awal buku yang mengurutkan secara sekilas kronologi dari keseluruhan peristiwa yang dibahas pada buku ini. Hal menarik lainnya yang juga dibahas dalam buku ini adalah peran dari Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said dalam peristiwa Geger Pacinan ini. Sebelum akhirnya keluar dari keraton, Pangeran Mangkubumi dikenal karena kesetiaannya dengan selalu berada di sisi Sunan Pakubuwono II. Sedangkan, Raden Mas Said cenderung lebih menujukkan keberpihakannya pada Laskar Tionghoa. Setelah peristiwa geger Pacinan, kedua tokoh ini akan memainkan peran dalam Perang Suksesi Jawa III pada tahun 1746-1757. Secara keseluruhan, "Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa Jawa Melawan VOC" adalah sebuah karya yang penting dan berharga bagi sejarah kolonialisme di Hindia Belanda. Dalam buku ini, Daradjadi berhasil menyoroti keterlibatan Mataram dalam peristiwa tersebut, menunjukkan bagaimana kerajaan Jawa ini berperan dalam mempengaruhi dinamika politik dan konflik antara Tionghoa dan VOC. Buku ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang tertarik dengan sejarah kolonial Indonesia, hubungan etnis, dan perjuangan melawan penjajahan. (Nasywa Nur Athiyya/Mahasiswa Prodi Ilmu Sejarah FIB UGM, Magang di Museum Ullen Sentalu, September 2023)
1 Comment
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |