1. Batik Parang
Motif parang adalah salah satu motif batik yang paling terkenal dan banyak digunakan di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Motif parang termasuk dalam salah satu motif batik tertua di Indonesia yang sudah ada sejak kepemimpinan Keraton Mataram. Motif ini menggambarkan bentuk-bentuk geometris seperti garis melengkung yang berulang dan ditata secara diagonal pada bidang kain. Parang memiliki makna simbolis yang berkaitan dengan kekuasaan, keberanian, dan perlindungan. Hal ini bisa dilihat pada penggunaan motif parang di era Kesultanan Mataram Islam. Motif parang sendiri terbagi dalam beberapa jenis, salah satunya parang rusak. Motif ini diciptakan oleh Sultan Agung di Mataram yang masih tetap lestari hingga sekarang. Penggunaan motif parang gaya Surakarta, baik itu perempuan dan laki-laki, digunakan secara diagonal melintasi kain dengan membentang dari kanan atas ke kiri bawah. Sedangkan jika dilihat di Yogyakarta, untuk perempuan, motif ini melintang dari kiri atas ke bagian kanan bawah. Motif yang mengandung makna yang dalam dan luhur ini dahulu hanya diperkenankan digunakan oleh para bangsawan tinggi. Saat ini aturan penggunaan motif parang sudah dilonggarkan dan pada dasarnya bisa saja dikenakan oleh semua kalangan, tapi sebaiknya tidak digunakan apabila kita sedang berkunjung ke area istana Yogyakarta maupun Surakarta. 2. Batik Truntum Masih dari kain batik, motif lainnya yang juga sering digunakan adalah motif truntum. Motif ini melambangkan cinta yang bersemi, sehingga seringkali batik dengan motif ini digunakan sebagai busana orang tua mempelai pada upacara pernikahan. Karena maknanya yang melambangkan kebahagiaan dan harapan itulah, hindari penggunaan kain batik dengan motif tuntrum ini pada acara duka seperti upacara kematian. 3. Lurik Dengklung Tidak hanya batik, bagi masyarakat Jawa kain tradisional lainnya yang juga sering digunakan adalah kain tenun lurik. Jenis kain ini memilki kekhasannya tersendiri yang dapat dilihat dari visualnya berupa susunan unsur garis-garis vertikal. Kain lurik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang kaya akan makna dan sejarahnya. Dengan polanya yang bergaris, kain ini disarankan digunakan dengan posisi garis-garisnya tetap vertikal, tidak dihorizontalkan. Hal ini sesuai dengan makna filosofisnya yang menggambarkan hubungan manusia dengan penciptanya seperti sebuah garis vertikal. Seperti halnya batik, kain Lurik juga memiliki beragam varian motifnya tersendiri. Salah satunya adalah Motif Dengklung. Motif Dengklung merupakan salah satu jenis kain lurik yang masih digunakan dalam salah satu upacara adat di keraton Surakarta, yaitu Upacara Adang. Pada upacara ini, Lurik motif Dengklung digunakan sebagai balutan dandang yang digunakan untuk menanak nasi. Lurik motif ini berwarna hitam dengan bagian pinggirnya terdapat plisir berwarna putih. 4. Tenun Lurik Liwatan Masih dengan kain tenun Lurik, motif lainnya yang juga menarik untuk dibahas adalah motif Liwatan. Meskipun secara visual sama-sama hanya berupa garis vertikal, namun corak dari motif ini terbentuk dari garis lajur pada kedua sisi kain dengan sebuah kelompok garis di bagian tengahnya. Kelompok garis pada sisi yang mengapit dengan dengan kelompok garis yang di tengah memiliki variasi warna yang berbeda. Dalam bahasa Jawa, kata Liwatan berarti ‘dilewati’. Motif Liwatan ini biasanya digunakan oleh seorang ibu hamil yang sedang menjalani proses tujuh bulanan atau mitoni. Penggunaan Lurik Liwatan pada proses mitoni ini diharapkan dapat menjadi penolak bala. Sehingga bayi dapat lahir ke dunia dengan selamat. 5. Celup Ikat Jumputan dan Tritik Tidak hanya batik dan lurik, terdapat juga sebuah jenis kain tradisional yang proses pembuatannya lebih mudah. Sebelum merebaknya tren tie dye, sudah ada kain tradisional yang memilki metode pembuatan serupa, yaitu kain dengan metode celup ikat. Pembuatan kain dengan teknik celup ikat ini terdapat di berbagai daerah Nusantara, antara lain di Sumatera, Kalimantan Selatan, Jawa dan Bali. Setiap daerah memiliki sebutan masing-masing, di pulau Jawa dikenal dengan nama jumputan atau tritik. Jumputan merupakan hasil karya budaya yang mengandung nilai-nilai serta menjadi simbol budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa khususnya Surakarta. (Nasywa Nur Athiyya/Mahasiswa Prodi Ilmu Sejarah FIB UGM, Magang di Museum Ullen Sentalu, September 2023) Referensi: Isbandono Hariyanto. 2014. “Tenun Lurik Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa” dalam CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 2 No.2. Mahendra Wardhana. 2016. “Menumbuhkan Minat pada Kain Nusantara Melalui Pelatihan Pembuatan Kain Ikat Celup (Jumputan) pada Warga Masyarakat” dalam Jurnal Desain Interior, Vol. 1, No. 2. Pandu Setyo Adji, Novita Wahyuningsih. 2018. “Kain Lurik: Upaya Pelestarian Kearifan Lokal”, dalam Jurnal ATRAT V6/N2/05 Sarwono, dkk. 2021. “Penggunaan Jumputan Dan Tritik Dalam Upacara Adat Di Surakarta”. dalam Brikolase, Vol. 13 No. 2 Sri Wuryani. 2013. “Lurik dan Fungsinya di Masa Lalu”. dalam Ornamen, Vol. 10, No. 1 hlm. 81-100. Suprayitno, S., & Ariesta, I. 2014. “Makna Simbolik Dibalik Kain Lurik Solo-Yogyakarta”. dalam Humaniora, Vol. 5, no. 2, hlm. 842- 851.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |