Menurut tradisi lama, para penari Bedhaya Ketawang dipilih dari para abdi bedhaya yang terbaik dan masih perawan. Keperawanan dalam ritual-ritual kraton merupakan suatu simbol kesucian. Namun, sejak 1970 an, syarat menjadi penari Bedhaya Ketawang agak diperlonggar, tak lagi sepenuhnya masih perawan, tapi lebih kepada tidak sedang menstruasi tatkala bertugas menari.
Dalam masyarakat Jawa, Bedhaya Ketawang dipercayai sebagai tari sakral pusaka kraton yang menjadi induk bagi tari-tari bedhaya selanjutnya, bahkan tari-tarian lainya, sejak era Mataram Islam sampai dengan sekarang. Bedhaya Ketawang melambangkan perlindungan Gusti Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan, kepada Kerajaan Mataram. Pasalnya, secara turun temurun berkembang suatu keyakinan bahwa Bedhaya Ketawang adalah tari yang diciptakan oleh Gusti Kanjeng Ratu Kidul, sang penguasa Laut Selatan. Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam, konon tertarik tentang tata gerak Bedhaya Ketawang dalam pertemuan keduanya di Istana Ratu Kidul di Laut Selatan. Setelah itu, Ratu Kidul konon hadir ke Kraton Mataram setiap hari selama tiga bulan penuh untuk melatih para abdi bedhaya. Selanjutnya, dipercaya juga bahwa Ratu Kidul selalu hadir pada setiap malam Selasa Kliwon untuk melihat penampilan karya tari ciptaannya. Malam Selasa Kliwon selanjutnya dikenal dengan nama anggara kasih, hari sakral pertemuan antara raja Mataram dengan GKR Kidul. Konon, pada setiap Bedhaya Ketawang ditarikan, Ratu Kidul akan hadir dan ikut menari di hadapan raja. Legenda yang hidup dalam masyarakat Jawa mempercayai bahwa hanya raja dan orang-orang tertentu yang dapat melihat kehadiran sosok Ratu Kidul di antara pada penari Bedhaya Ketawang. Karena itu, menjelang dipergelarkannya tarian ini di hadapan raja, para penari harus menjalani serangkaian ritual yang disebut caos dahar. Ini adalah bentuk penghormatan dan memohon restu pada sang pencipta Bedhaya Ketawang, yaitu Ratu Kidul.(Rasti Wijayanti, Yosef Kelik, dan Isti Yunaida) *Sebelumnya pernah diunggah di blog.ullensentalu.com pada 23 Juli 2014 Referensi · Dwiyanto, Djoko, Ensiklopedi Kraton Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, 2009 · Hermanu dkk., Serimpi, Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011
1 Comment
|
Archives
May 2024
Categories |