Menariknya, diantara komponen tersebut ada yang tampaknya ditata dalam pola tertentu; yakni keraton, alun-alun, dan Masjid Agung yang berada di wilayah inti yang paling tengah dan ditandai oleh cepuri dan jagang dalam. Di luar wilayah inti ini terletak pasar, taman, pemukiman, baluwarti. Sementara di wilayah terluar berdiri krapyak dan pemakaman. Junianto dalam Konsep Mancapat-Mancalima dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram Islam (2019) mengatakan bahwa susunan komponen-komponen tersebut didasari keyakinan kosmologi Jawa yang bersumber dari kepercayaan pra-Islam di Jawa. Lebih jauh lagi, Junianto (2019) mengidentifikasi adanya konsep mancapat-mancalima yang menjadi ciri “kota Jawa”. Konsep tersebut merupakan sistem klasifikasi simbolik dari empat arah mata angin yang dijaga para dewa. Sementara satu titik tambahan, yakni di bagian tengah (pusat) merupakan simbol kemantapan dan keselarasan dunia.
Sementara komponen non-fisik dalam konsep tata kota di Jawa ditandai dengan heterogenitas penduduknya; baik dari segi profesi, stratifikasi sosial, maupun daerah asal. Aspek sosial tersebut dapat dirunut melalui beberapa data, khususnya data toponim yang masih hidup di kalangan masyarakat setempat sampai sekarang. Menariknya, apabila dibandingkan dengan kota-kota di Pesisir Utara Jawa, profesi dan asal daerah penduduk kota-kota pesisir lebih bervariasi dibandingkan kota-kota di Pedalaman seperti Mataram Islam. Situasi ini mungkin dilatarbelakangi sifat kota Pesisir yang lebih terbuka karena selain berfungsi sebagai kota pusat pemerintahan, juga berfungsi sebagai kota pelabuhan. Kelokalan dalam Tata Kota Mataram Islam Penjabaran di atas menunjukkan bahwa pola tata ruang komponen-komponen kota-kota pusat pemerintahan Mataram Islam yang memiliki ciri-ciri Islami dan masih mempertahankan unsur-unsur pra-Islam ataupun unsur yang merupakan hasil akulturasi. Ciri-ciri tersebut menunjukkan suatu kesatuan yang harmonis. Posisi kota-kota pusat Kerajaan Mataram Islam bahkan dapat dikatakan sebagai “mata rantai” sejarah perkotaan di Jawa, khususnya sebagai pengembang dan penegas pola tata kota dan kehidupan masyarakat Islami, yang embrionya muncul di Kota Demak. Aspek-aspek tersebut kemudian dikembangkan di kota-kota Jawa yang lebih muda seperti Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang masih eksis hingga sekarang. Namun berbeda dengan situs-situs Mataram Islam yang hanya memiliki satu alun-alun, Kota Yogyakarta dan Surakarta kemudian mempunyai dua alun-alun. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu).
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |