Oei Hong Kian dalam Oei Hong Kian, Dokter Gigi Soekarno (2001) menyebutkan bahwa sejak tahun 1842, pemerintah kolonial Belanda telah membuat jalan baru dari Semarang ke Magelang lewat Ambarawa. Jalan baru sepanjang 7 kilometer tadi lebih pendek 28 kilometer dari jalan lama lewat Salatiga dan menyusuri lereng Gunung Merbabu sampai Grabag. Pada medio abad XIX itu, Belanda menyadari bahwa jalan lama via Salatiga dan Grabag kurang memadai untuk jalur pengerahan tentara jika sewaktu-waktu ada kegentingan di sekitar kawasan penting Kedu maupun Yogyakarta.
Pembangunan jalan baru penghubung Semarang dan Magelang tadi bukan proyek besar jalan yang pertama dikerjakan Kolonial Belanda. Pada 1808, Gubernur Jenderal Deandels telah memastikan terhubungnya Anyer sampai Panarukan melalui suatu sistem ‘Jalan Raya Pos’. Jalan tersebut dibangun untuk mempercepat pergerakan tentara-tentara Belanda untuk menghadapi kekuatan Inggris di Laut Jawa. Menariknya, pada abad ke-XIX, Kerajaan Mataram Islam masih eksis di Jawa. Namun akibat konflik intern dan intervensi pemerintah kolonial, kerajaan tersebut terpecah menjadi empat istana, yaitu Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman. Meski di bawah kontrol pemerintah kolonial, para raja dan adipati yang bertakhta tidak mau ‘ketinggalan zaman’. Mereka masih berkesempatan jalan-jalan (plesiran) ke luar kota seperti ke Bogor, Bandung, Lembang, Sukabumi, Malang, Bali, Lombok, dan Lampung di Sumatera. Darsiti Soeratman dalam buku Kehidupan Dunia Kraton Surakarta, 1830-1930 (1989) menyebutkan bahwa saat bepergian ke luar pulau, raja-raja Mataram biasanya menggunakan kereta api dan kapal milik perusahaan Eropa. Contohnya Sunan Pakubuwono X yang berkunjung ke Lampung tahun 1935 dengan moda transportasi kereta api dari stasiun Balapan – Tanjung Priok dan lanjut naik Kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (K.P.M) milik Belanda. Sunan Pakubuwono X juga dikenal sebagai orang pertama di Indonesia yang memiliki mobil. James Luhulima dalam Sejarah Mobil dan Kisah Kehadiran Mobil di Negeri ini (2012), menyebutkan bahwa Sunan Pakubuwono X memesan mobil Benz Victoria Phaeton dari Perusahaan Benz di Jerman (kini Daimler-Benz) pada tahun 1894. Mobil ini seharga 10.000 gulden atau setara dengan 9 miliar sekarang dan berbahan bakar bensin (10 liter/100 km). Meski bentuk mobil menyerupai kereta kuda, tetapi tenaganya lima kali tenaga kuda. Keberadaan mobil Benz Victoria Phaeton milik Sunan Pakubuwono X di atas, membuat golongan elit Jawa lainnya berbondong-bondong membeli mobil. Luhulima (2012) menyebutkan bahwa pada tahun 1907, salah satu keluarga Kasultanan Yogyakarta bernama Raden Sosrodiningrat juga membeli mobil dari perusahaan yang sama. Selain itu, golongan elit seperti anak bupati Brebes, Raden Mas Ario Tjondro juga membeli mobil tahun 1904 dan Sultan Ternate membeli mobil tahun 1913. Perkembangan teknologi ini mengakibatkan kereta kuda keraton tergeser sebagai ‘pusaka’ yang lazim disebut dengan gelar Kyai atau Nyai. Moda transportasi ini sekarang disimpan di keraton dan hanya digunakan saat hajat dalem. Antropolog Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu Antropologi (1959), menyebutkan bahwa perkembangan teknologi umumnya akan mengubah kebudayaan atau peradaban suatu masyarakat. Hal ini juga terjadi di keraton Mataram. Seiring berkembangnya moda transportasi, turut serta mengubah etiket di dalam keraton. Sebagai contoh, para piyantun dalem yang umumnya menggunakan kebaya dan jarit, saat bepergian dengan kereta dan kapal diperkenankan mengenakan baju dengan potongan leher tertutup, meski bahan baju dan motif kainnya sangat berbeda yang dikenakan oleh permaisuri. Sementara etiket penyambutan gubernur jenderal Belanda oleh raja Mataram juga berubah sejak akhir abad XIX. Soeratman (1989) menyebutkan bahwa ketika Gubernur Jenderal De Jonge datang ke Surakarta tahun 1933, Sunan tidak menunggunya di keraton tetapi menjemputnya langsung di Stasiun Balapan. RESTU A RAHAYUNINGSIH (Peneliti Museum Ullen Sentalu).
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |