Mangkunegara VII bahkan tertarik untuk memanfaatkan radio untuk menyebarluaskan kebudayaan dan kesenian tradisional Jawa. Akhirnya tahun 1930, Mangkunegara VII memproduksi piringan hitam yang berisi musik dan lagu tradisional Jawa.
Ia juga mendirikan stasiun radio komunitas PK2MN. Nama komunitas PK2MN sejatinya merujuk pada kode radio amatir Jawa Tengah, yaitu PK2 dan MN (akronim dari Mangkunegaran). Meski demikian, masyarakat menyebut PK2MN adalah akronim dari Perkumpulan Karawitan Kring Mangkunegaran. Komunitas PK2MN beranggotakan para seniman dan wartawan Mardi Raras (Javaansche Kunskring Mardi Raras) yang berada di bawah pimpinan Adipati Mangkunegara VII. Siaran radio yang dilakukan komunitas ini bertujuan untuk menyebarluaskan kesenian asli Jawa seperti karawitan dan wayang orang yang dipentaskan di Balekambang (Partinituin). Sementara studio siarannya bertempat di Pendopo Kepatihan Mangkunegaran. Pada Desember 1933, siaran PK2MN mengalami penurunan kualitas karena pemancar radio yang digunakan sudah tua (bekas Djocjchasche Radio Vereeniging, radio milik Belanda di Yogyakarta). RM Ir. Sarsito Mangunkusumo, salah satu anggota perkumpulan seni Mardi Raras mengusulkan renovasi total peralatan siaran radio PK2MN. Gagasan tersebut diterima dan Ir Sarsito ditunjuk sebagai pimpinan proyek pengadaan pemancar radio baru dengan pengumpulan uang kas dan melibatkan pihak di luar organisasi. Sayangnya, uang yang diperoleh dari hasil pengumpulan kurang. Ir Sarsito dan kawan-kawannya lantas memberanikan diri meminta bantuan Mangkunegara VII. Akhirnya, pemancar radio pun bisa segera dipesan. Akibat keterbatasan transportasi Jawa-Eropa dan lamanya pengiriman pemancar radio, sekitar 1 bulan siaran radio PK2MN bekerjasama dengan radio milik Belanda di Batavia (NIROM). Oleh karena itu, stasiun radio ini kemudian diberi nama Solosche Radio Vereeniging (SRV). Pemancar radio yang dipesan PK2MN tiba di Solo pada 5 Januari 1934. Sejak saat itu, SRV menjadi lebih berkembang sebagai jaringan Radio Ketimuran yang dikelola sendiri oleh anak bangsa. Pada 1 Februari 1935, diadakan rapat asosiasi yang membahas pembangunan studio baru dengan anggaran f800. Terkait hal ini, Mangkunegara VII menyumbangkan tanah di Kestalan sebesar 5.000 meter. Tanah ini sebelumnya direncanakan untuk membangun pos polisi tetapi tidak terealisasi. Untuk menghormati peran Mangkunegara VII, peletakan batu pertama diresmikan oleh Gusti Nurul, putri semata wayang Mangkunegara VII dan Ratu Timur pada 15 September 1935. Pencapaian terbesar SRV adalah siaran musik gamelan secara langsung dari Solo untuk mengiringi Gusti Nurul menari tari Serimpi Sari Tunggal di Istana Noordeinde, Den Haag, Belanda, 7 Januar 1937. Siaran ini membuktikan bahwa radio saat itu adalah alat komunikasi publik yang mampu menghubungkan masyarakat antar negara dan antar benua. Atas capaian ini, Adipati Mangkunegara VII yang berjasa merintis penyiaran Indonesia diusulkan sebagai Bapak Penyiaran Nasional. (RESTU A RAHAYUNINGSIH/DIVISI RISET MUSEUM ULLEN SENTALU) Referensi: Hermanu. 2013. Layang Swara. Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta Hermono, Ully. 2014. Gusti Nurul, Streven Naar Geluk Mengejar Kebahagiaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Tandjung, Krisnina M.A. 2007. 250 tahun Pura Mangkunegaran. Jakarta: Yayasan Warna-warni Indonesia.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |