Pararaton sendiri merupakan suatu kronik berisikan kira-kira 1.100 kata dalam bahasa Jawa Tengahan, mengisahkan riwayat para maharaja dan raja penguasa Jawa Timur pada zaman Hindu-Buddha, mulai dari akhir era Kediri, sepanjang era Tumapel-Singasari, lalu masih berlanjut ke hampir seluruh era Majapahit. Genre kronik dalam Pararaton menunjukkan adanya maksud dari penulisnya yang anonim untuk menjadikan kitab ini selaku perekam berbagai kejadian sejarah pada zaman Jawa Kuno. Linimasa narasi Pararaton sendiri terentang mulai dari peralihan abad XII ke XIII sampai dengan pertengahan abad XV.
Judul Pararaton memang kreasi ahli sejarah berkebangsaan Belanda,JLA Brandes. Judul tersebut disematkan Brandes ketika menerbitkan versi terjemahan moderennya pada 1896. Proses penerjemahan oleh Brandes ini telah berlangsung sejak 1888. Pada awal proses penerjemahan, kitab ini lebih sering dicatat dengan penyebutan “Prosa Angrok”. Sejarawan Barat pertama yang berhasil mengidentifikasi keberadaan naskah yang kini dikenal sebagai Pararaton adalah R Friedrich. Identifikasi tersebut dicatat Friedrich pada 1849 dalam laporan risetnya atas Bali. Friedrich menyebut naskah tersebut sekadar dengan penyebutan kitab “Kenhangkrok”. Namun, penyematan judul Pararaton oleh Brandes 1896 tidaklah berarti kitab itu sekadar tulisan rekayasa Belanda. Kreasi judul baru oleh Brandes lebih karena kitab tersebut awalnya tidak punya judul baku spesifik, kecuali kata-kata yang semacam intro terhadap isi, yakni “Katuturanira Ken Angrok” (Kisah tentang Ken Angrok). Kitab yang sekarang dikenal sebagai Pararaton memang merupakan tulisan yang berasal dari masa akhir Majapahit, “diawetkan” lewat penyalinan di Bali pasca runtuhnya Majapahit, baru akhirnya diterjemahkan ke bahasa-bahasa moderen oleh para sejarawan sejak akhir abad XIX. Wayan Jarrah Sastrawan, sejarawan Asia Tenggara di EFEO Paris, menyebut salinan naskah Paraton di Bali antara lain bisa didentifikasi berasal dari 1613 M (naskah dari Swecchapura/Gelgel) dan 1638 M (naskah dari Tabanan. Ini diungkap Jarrah melalui cuitan di akun Twitter pribadinya @infiniteteeth pada 22 Agustus 2020. Di dalam kitab Pararaton, tahun yang paling awal disebutkan secara eksplisit adalah 1144 Saka atau 1222 Masehi. Tahun tersebut tercatat dalam Pararaton sebagai tahun ketika tokoh Ken Angrok memimpin bala tentara Tumapel mengalahkan bala tentara Kediri pada pertempuran di Ganter, menjadikannya sebagai maharaja atas dua kerajaan tadi, yang artinya juga mengantarkannya sebagai sosok paling berkuasa di Jawa atau setidaknya di Jawa Timur pada perempat pertama abad XIII Masehi. Namun, titik mula linimasa sebenarnya dari narasi Pararaton bolehlah diyakini sekian tahun sebelum 1144 S/1222 Masehi. Taksirannya bahkan sampai dengan hampir separo abad lebih awal. Ini karena dalam Pararaton ada juga porsi cerita tentang tokoh bernama Dangdang Gendis yang merupakan raja terakhir Kediri sebelum negeri tersebut ditaklukkan Tumapel, bekas vazalnya. Manakala coba disinkronkan dengan kesejarahan Kemaharajaan Kediri berdasarkan temuan-temuan prasasti, tokoh Dangdang Gendis identik dengan Srengga alias Kertajaya, yakni maharaja terakhir berwangsa Isyana di Kediri yang diperkirakan berkuasa pada kurun ±1190 – 1222 M. Konklusi demikian diterima secara luas dalam bangunan sejarah tentang Jawa Kuno yang ada sejauh ini. Itulah yang menjadi petunjuk bahwa linimasa Pararaton sejatinya berpangkal pada salah satu tahun di awal abad XIII atau malah di akhir abad XII. Tahun yang paling akhir disebutkan dalam narasi Pararaton adalah 1403 Saka atau 1481 Masehi, sedasawarsa lebih sedikit sebelum berakhirnya abad XV Masehi. Tahun tersebut dituliskan dalam bentuk sengkalan yang berbunyi kayambara sagareku. Itu selaku penanda kejadian sejarah terakhir yang diberitakan di situ, yakni letusan dari sebuah gunung api di Jawa Timur. Dengan demikian, berhubung tidak benar-benar ada informasi eksplisit tentang tahun penyelesaian Pararaton, maka perkiraan terjauh perihal tahun penyelesaian kitab tersebut adalah pada sekitar 1481 M alias akhir abad XV. Ini pula lah yang menjadikan Pararaton lazim digolongkan sebagai karya susastra dari masa akhir Majapahit. (Yosef Kelik, Periset di Museum Ullen Sentalu) J.J. Ras, 2014 Masyarakat dan Kesusastraan Jawa (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia) halaman 227. Bernard H.M. Vlekke, 2008 Nusantara: Sejarah Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia) halaman 61-62. Marwati Djoened Poesponegoro dkk., 2009 Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno (Jakarta: Balai Pustaka, Cetakan III ) halaman 297-298.
0 Comments
Leave a Reply. |
Archives
May 2024
Categories |